TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA. KOMENTAR ANDA MERUPAKAN KEHORMATAN BAGI KAMI.
Komentar, masukan, ide, dan gagasan Anda sangat kami butuhkan di sini. Demi majunya kegiatan belajar mengajar SD kami. Utamanya untuk meningkatkan prestasi belajar para peserta didik kami. Salam untuk orang-orang yang dekat di hati Anda. Mari bersama kita tingkatkan mutu pendidikan di Indonesia!

Jumat, 28 Januari 2011

Video Pembelajaran : Benda-Benda di Sekitar Kita

Video pembelajaran untuk anak didik kelas 1 sampai dengan kelas 6 tentang benda-benda di sekitar tempat tinggalnya.


Revitalisasi Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah



Sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi (negara), usia bahasa Indonesia sudah lebih separuh abad. Jika dianalogikan dengan kehidupan manusia, dalam rentang usia tersebut mestinya sudah mampu mencapai tingkat kematangan dan kesempurnaan hidup, sebab sudah banyak merasakan liku-liku dan pahit-getirnya perjalanan sejarah. Namun, seiring dengan bertambahnya usia, bahasa Indonesia justru dihadang banyak masalah. Pertanyaan bernada pesimis pun bermunculan. Mampukah bahasa Indonesia menjadi bahasa budaya dan bahasa Iptek yang berwibawa dan punya prestise tersendiri di tengah-tengah dahsyatnya arus globalisasi? Mampukah bahasa Indonesia bersikap luwes dan terbuka dalam mengikuti derap peradaban yang terus gencar menawarkan perubahan dan dinamika? Masih setia dan banggakah para penuturnya dalam menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi yang efektif di tengah-tengah perubahan dan dinamika itu?

Sementara itu, jika kita melihat kenyataan di lapangan, secara jujur harus diakui, bahasa Indonesia belum difungsikan secara baik dan benar. Para penuturnya masih dihinggapi sikap inferior (rendah diri) sehingga merasa lebih modern, terhormat, dan terpelajar jika dalam peristiwa tutur sehari-hari, baik dalam ragam lisan maupun tulis, menyelipkan setumpuk istilah asing, padahal sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Agaknya pemahaman, penghayatan, dan penghargaan kita terhadap bahasa nasional dan negara sendiri belum tumbuh secara maksimal dan proporsional. Padahal, tak henti-hentinya pemerintah menganjurkan untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Bahkan, juga menunjukkan perhatian yang cukup besar dan serius dalam upaya menumbuhkembangkan bahasa Indonesia. Melalui tangan panjang-nya, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (P3B), pemerintah telah meluncurkan beberapa kaidah kebahasaan baku agar dapat dijadikan sebagai acuan segenap lapisan masyarakat dalam berbahasa Indonesia, seperti Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan (EYD), Pedoman Umum pembentukan Istilah (PUPI), Tata Bahasa Indonesia Baku (TBIB), maupun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Akan tetapi, beberapa kaidah yang telah dikodifikasi dengan susahpayah itu tampaknya belum banyak mendapatkan perhatian masyarakat luas. Akibatnya bisa ditebak. Pemakaian bahasa Indonesia rendah: kalimatnya rancu dan kacau, kosakatanya payah, dan secara semantik sulit dipahami maknanya. Anjuran untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar seolah-olah hanya bersifat sloganistis, tanpa tindakan nyata dari penuturnya. Mengapa hal itu bisa terjadi? Mengapa masyarakat seolah-olah cuek dan masa bodoh terhadap segala macam kaidah kebahasaan yang telah ditetapkan sebagai acuan? Kondisi semacam itu setidaknya dilatarbelakangi oleh kuatnya kerangka pikir bahwa bahasa Indonesia hanyalah bahasa kedua setelah bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Hal ini paling tidak ikut memengaruhi rendahnya pemahaman, penghayatan, dan penghargaan penutur terhadap bahasa Indonesia, sebab mereka telah terbiasa bertutur dengan menggunakan kerangka berpikir bahasa daerah, sehingga menjadi gagap ketika mereka harus menggunakan bahasa Indonesia secara langsung. Kondisi semacam itu diperparah lagi dengan masih banyaknya tokoh masyarakat tertentu yang seharusnya menjadi anutan, tetapi nihil perhatiannya terhadap penggunaan bahasa Indonesia yuang baik dan benar.

Dalam situasi masyarakat paternalistik seperti di negeri kita, keadaan semacam itu jelas sangat tidak menguntungkan, sebab masyarakat akan ikut latah, beramai-ramai meniru bahasa tutur tokoh anutannya sebagai bentuk penghormatan dalam versi lain. Selain kondisi yang kurang kondusif semacam itu, bobot dan mutu pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah pun tak henti-hentinya dipertanyakan. Hal ini memang beralasan, lantaran sekolah diyakini sebagai institusi yang diharapkan mampu melahirkan generasi bangsa yang memiliki kebanggaan terhadap bahasa nasional dan negaranya, berkedisiplinan dan berkesadaran tinggi untuk berbahasa yang baik dan benar, serta punya penghargaan yang memadai terhadap bahasa Indonesia. Namun, yang terjadi hingga saat ini, pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dinilai belum menunjukkan hasil optimal seperti yang diharapkan. Proses pembelajarannya berlangsung timpang; seadanya, tanpa bobot, dan monoton sehingga peserta didik terpasung dalam suasana pembelajaran yang kaku dan membosankan.

Singkatnya, pembelajaran bahasa Indonesia masih memprihatinkan hasilnya; keterampilan berbahasa siswa rendah, sehingga tidak mampu mengungkapkan gagasan dan pikirannya secara logis, runtut, dan mudah dipahami. Kondisi pembelajaran bahasa Indonesia yang demikian memprihatinkan, mau atau tidak, mengharuskan kita untuk melakukan langkah revitalisasi, yaitu dengan menghidupkan dan menggairahkan kembali proses pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah didukung etos dan semangat guru yang andal serta kegairahan siswa yang terus meningkat intensitasnya dalam belajar dan berlatih berbahasa. Langkah revitalisai yang mesti ditempuh, di antaranya, pertama, menciptakan dan sekaligus memberdayakan guru. Upaya pemberdayaan guru hendaknya dimulai sejak calon guru menempuh pendidikan di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan) agar kelak setelah benar-benar menjadi guru tidak asing lagi dengan dunianya dan siap pakai.

Jelas, tuntutan ideal semacam ini bukan tugas yang ringan bagi LPTK, sebab selain harus mampu mencetak lulusan yang punya kemampuan akademik tinggi, juga harus memiliki integritas kepribadian yang kuat dan keterampilan mengajar yang andal. Kedua, guru hendaknya tidak terlalu banyak dibebani oleh tuntutan kurikulum yang dapat memasung kreativitasnya dalam proses pembelajaran. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) hendaknya memberikan ruang dan peluang yang begitu terbuka bagi para guru dalam melakukan inovasi pembelajaran dan mendedahkan kreativitas pembelajaran secara optimal dalam mengemas kegiatan belajar-mengajar. Tujuan pembelajaran bahasa bukanlah untuk menjadikan siswa sebagai ahli bahasa, melainkan sebagai seorang yang dapat menggunakan bahasa untuk keperluannya sendiri, dapat memanfaatkan sebanyak-banyaknya apa yang ada di luar dirinya dari mendengar, membaca, dan mengalami, serta mampu berkomunikasi dengan orang di sekitarnya tentang pengalaman dan pengetahuannya. Ketiga, buku paket yang wajib dipakai hendaknya diupayakan untuk dicarikan buku ajar yang sesuai dengan tingkat kematangan jiwa dan latar belakang sosial-budaya siswa.

Hal ini perlu dipikirkan, sebab bahan ajar yang ada dalam buku paket dinilai belum sepenuhnya mampu menarik minat dan gairah siswa untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran tersebut hendaknya juga diimbangi pula dengan peran-serta masyarakat agar bisa menciptakan suasana kondusif yang mampu merangsang siswa untuk belajar dan berlatih berbahasa Indonesia secara baik dan benar, dengan cara memberikan teladan yang baik dalam peristiwa tutur sehari-hari. Demikian pula media massa (cetak/elektronik) hendaknya juga menaruh kepedulian yang tinggi untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan kaidah kebahasan yang berlaku. Jika langkah “revitalisasi” tersebut dapat terwujud, tujuan pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah bukan mustahil diraih.

Anjuran pemerintah untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar kepada seluruh masyarakat pun tidak akan bersifat sloganistis. Bahkan, mungkin pada gilirannya nanti bahasa Indonesia benar-benar akan menjadi bahasa budaya dan bahasa Iptek yang wibawa dan punya prestise tersendiri di era globalisasi, luwes dan terbuka, dan para penuturnya akan tetap bangga dan setia menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi yang efektif di tengah derap peradaban zaman. Sebab, jutaan generasi yang memiliki kebanggaan dan kecintaan terhadap bahasa nasional dan negaranya akan lahir dari sekolah.

Contributed by Bapak Sawali Tuhusetya

Contoh RPP IPA SD Kelas IV (Format Baru)

Nama Sekolah : SD Negeri 3 Megawon
Mata Pelajaran : IPA
Kelas/Semester : IV/2
Alokasi Waktu : 4 x 35 menit (2 x pertemuan)

A. Standar Kompetensi : Energi dan Perubahannya
7. Memahami Gaya dapat Mengubah Gerak dan/atau Bentuk Suatu Benda

Kompetensi Dasar :
7.1. Menyimpulkan hasil percobaan bahwa gaya (dorongan dan tarikan) dapat mengubah gerak suatu benda.

Tujuan Pembelajaran Pertemuan 1:
  1. Dengan mengamati demontrasi meja yang didorong dan ditarik dan bola yang dilempar ke atas secara berulang-ulang, serta mengamati gambar pada LKS 01A tentang suatu kegiatan di sekolah, siswa dapat membuat daftar berbagai gerak suatu benda.
  2. Melalui penyajian informasi tentang gaya dapat mengubah gerak benda dan contohnya dalam presentasi power point, dan siswa menghubungkannya dengan membaca ide-ide penting pada buku siswa, siswa dapat menjelaskan pengertian gaya, macam-macam, dan satuannya.
Tujuan Pembelajaran Pertemuan 2:
  1. Melalui kegiatan melakukan percobaan mendorong dan menarik suatu benda yang dapat mengubah gerak benda tersebut, siswa dapat menemukan bahwa gaya yang dapat berupa dorongan dan tarikan dan mengklasifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi berbagai gerak benda tersebut.
  2. Melalui kegiatan presentasi, mengikuti, dan mereview presentasi temannya, siswa dapat menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, dan kreatif dengan bimbingan guru.
  3. Dengan diberikan tugas yang terkait dengan penerapan gaya mengubah gerak benda dalam kehidupan sehari-hari, siswa dapat menunjukkan kemampuan memecahkan masalah sederhana dalam kehidupan sehari-hari dan menyimpulkan bahwa gaya dapat mengubah gerak benda.
B. Materi Pembelajaran:
Gaya Dapat Mengubah Gerak Suatu Benda
  1. Pengertian Gaya dan Satuannya. Gerakan menarik atau mendorong itu dalam IPA disebut gaya. Jadi gaya dapat menyebabkan benda bergerak atau berubah bentuk. Gaya tidak dapat dilihat tetapi pengaruhnya dapat dirasakan. Gaya tidak sama dengan tenaga (energi) meskipun keduanya saling berhubungan. Gaya juga dilakukan hewan atau mesin, misalnya sapi menarik gerobak dan lokomotif kereta api menarik rangkaian gerbong. Satuan gaya adalah newton.
  2. Macam-macam Gaya. Gaya dapat dibagi menjadi beberapa macam, antara lain: Gaya otot, yaitu gaya yang dihasilkan oleh otot, misalnya tangan meremas benda. Gaya pegas, yaitu gaya yang dihasilkan oleh pegas, misalnya anak panah meluncur karena adanya pegas busur panah. Gaya magnet, yaitu gaya yang dihasilkan oleh magnet, misalnya dinamo sepeda. Gaya gesek, yaitu gaya karena adanya gesekan dua benda, misalnya ban kendaraan bergesekan dengan permukaan jalan. Gaya gravitasi, yaitu gaya tarik bumi, misalnya buku yang jatuh ke lantai.
  3. Pengaruh Gaya terhadap Gerak Suatu Benda. Gaya dapat mengubah gerak suatu benda. Suatu benda dikatakan bergerak bila benda tersebut berubah posisi atau berubah tempatnya terhadap suatu titik acuan. Benda yang mula-mula diam bisa berubah menjadi bergerak setelah mendapatkan gaya. Benda yang sedang bergerak apabila mendapatkan gaya dapat mengakibatkan perubahan arah gerak benda.
C. Model dan Metode Pembelajaran:
  1. Model : Pembelajaran Kooperatif (Pertemuan 1) Pembelajaran Langsung (Pertemuan 2)
  2. Metode : Kelompok Berpasangan, Pengamatan, Percobaan, Presentasi, dan Tanya Jawab
D. Langkah Kegiatan Pembelajaran:
  • Pertemuan Pertama
a. Pendahuluan (± 15 Menit)
  1. Setelah mempersiapkan siswa untuk belajar, guru menarik perhatian siswa dengan mendorong dan menarik meja guru secara berulang-ulang, melempar bola ke atas dan membiarkannya jatuh ke lantai, kemudian menanyakan pada siswa kegiatan yang dilakukan guru dan apa yang terjadi (Fase 1)
  2. Siswa diminta menuliskan jawabannya dan mengkaitkan dengan gerak benda lainnya yang dikenal dan sering dilihat dalam kehidupan sehari-hari (Fase 1)
  3. Siswa menceritakan hasilnya kepada teman pasangan sebangkunya. (Fase 1)
  4. Guru memuji hasil kerja siswa dan berdasarkan hasil pengamatan siswa, guru mengkomunikasikan garis besar kompetensi dasar terkait dengan kegiatan yang baru dilakukan siswa, serta mengkaitkan pembelajaran sekarang dengan jawaban siswa dengan menampilkan presentasi power point. (Fase 1)
b. Kegiatan Inti (± 45 Menit)
  1. Guru menyajikan informasi tentang gaya melalui presentasi power point (Fase 2)
  2. Guru mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar kooperatif dan menjelaskan cara belajar dalam model pembelajaran kooperatif. (Fase 3)
  3. Guru membimbing tiap-tiap kelompok dalam bekerja sesuai dengan LKS 01A tentang suatu kegiatan di sekolah dan meminta siswa menuliskan hasil pengamatannya. (Fase 4)
  4. Guru melakukan evaluasi dengan meminta setiap anggota kelompok saling berpasangan, dan saling mempresentasikan pekerjaannya. (Fase 5)
  5. Berdasarkan hasil pengamatan, guru meminta siswa membaca ide-ide penting buku siswa dengan topik Apakah yang menyebabkan benda bergerak? & Macam-macam Gaya (Fase 2)
  6. Guru membimbing siswa menghubungkan hasil bacaannya dengan hasil pengamatannya, kemudian hasilnya dirumuskan dengan menulis pengertian gaya, macam-macam gaya, dan satuan gaya menggunakan kalimatnya sendiri. (Fase 4)
  7. Beberapa perwakilan kelompok diminta membacakan hasil rumusan pengertian gaya, macam-macam gaya, dan satuannya, anggota kelompok lainnya mengkritisi dan menyempurnakan rumusan yang dibaca temannya. (Fase 5)
  8. Guru memberikan umpan balik dengan memuji pada aspek-aspek yang sudah benar dilakukan siswa. (Fase 6)
  9. Siswa mengerjakan pertanyaan dan kesimpulan dalam LKS 01A. (Fase 5)
  10. Guru dan siswa membahas jawaban soal-soal LKS 01A dan memberikan kesempatan pada siswa untuk bertanya. (Fase 5)
c. Penutup (± 10 Menit)
  1. Guru merangkum butir-butir penting seluruh pembelajaran dengan menanyakan kepada siswa apa saja yang telah dipelajarinya. (Fase 5)
  2. Memberikan penghargaan kepada seluruh siswa atas partisipasi aktifnya dalam belajar. (Fase 6)
  • Pertemuan Kedua
a. Pendahuluan (± 10 Menit)
  1. Setelah mempersiapkan siswa untuk belajar, guru dan siswa melakukan permainan tepuk tangan dengan yel-yel yang berhubungan dengan gaya, untuk memotivasi dalam belajar, teksnya ada dalam buku siswa. (Fase 1)
  2. Guru kembali mengkomunikasikan garis besar kompetensi dasar yang terkait dengan kegiatan pembelajaran sebelumnya melalui presentasi power point. (Fase 1)
  3. Guru membentuk kelompok siswa dan membagikan alat dan bahan per kelompok. (Fase 1)
b. Kegiatan Inti (± 50 Menit)
  1. Guru menyajikan informasi tentang sumber belajar yang digunakan dalam kegiatan percobaan. (Fase 2)
  2. Guru mendemontrasikan tahapan yang akan dilakukan dalam kegiatan percobaan seperti yang tercantum dalam LKS 01B dengan rincian: (a) Langkah-langkah yang perlu dilakukan, (b) Pembagian peran anggota di kelompok, dan (c) Cara melakukan pengamatan dan mencatat hasil percobaan. (Fase 2)
  3. Guru membimbing siswa melakukan kegiatan percobaan seperti yang tercantum dalam LKS 01B Percobaan: Gaya dapat mengubah gerak suatu benda. (Fase 3)
  4. Perwakilan kelompok mempresentasikan hasil percobaan di depan kelas dengan membuat argumentasi yang logis, kritis, dan kreatif berdasarkan hasil percobaan, serta mengkritisi presentasi teman-temannya. (Fase 4)
  5. Guru memberikan umpan balik dengan memuji pada aspek-aspek yang sudah benar dilakukan siswa, dan memperbaiki aspek yang belum benar. (Fase 4)
  6. Siswa mengerjakan pertanyaan dan kesimpulan dalam LKS 01B yang terkait implementasi gaya mengubah gerak benda dalam kehidupan sehari-hari. (Fase 5)
  7. Guru dan siswa membahas jawaban soal-soal LKS 01B dan memberikan kesempatan pada siswa untuk bertanya. (Fase 5)
c. Penutup (± 10 Menit)
  1. Guru merangkum butir-butir penting seluruh pembelajaran dengan menanyakan kepada siswa apa saja yang telah dipelajarinya. (Fase 4)
  2. Memberikan penghargaan kepada seluruh siswa atas partisipasi aktifnya dalam belajar, dan memberikan penugasan pada siswa untuk menyempurnakan hasil pekerjaannya, serta membaca buku siswa di rumah dengan topik Bagaimana pengaruh gaya terhadap bentuk benda? (Fase 4 dan Fase 5).
E. Sumber Belajar dan Media
  1. Buku Siswa IPA SD Kelas IV Semester II Karangan Anwar Holil Halaman 1-6 Bab I: Gaya. Diterbitkan Sendiri (2007).
  2. Buku Siswa IPA SD Kelas IV Semester II Karangan Hariyanto Halaman 54-61 Bab 7: Gaya dan Pengaruhnya. Penerbit Pusaka Utama (2007).
  3. LKS 01A Pengamatan: Berbagai Gerak Suatu Benda
  4. LKS 01B Pengamatan: Gaya dapat mengubah gerak suatu benda
  5. Powerpoint: Gaya dapat mengubah gerak suatu benda
  6. Bola Tenis/bola kecil
  7. Tali Rafia
  8. Meja Guru dan Meja Siswa

F. Penilaian
Penilaian yang digunakan berbasis kelas dan menggunakan instrumen penilaian berikut ini.

Indikator 1.
Menemukan bahwa gaya dapat berupa dorongan dan tarikan melalui suatu percobaan dengan mendorong dan menarik suatu benda yang dapat mengubah gerak benda tersebut, serta mengklasifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi berbagai gerak benda tersebut.
Teknik Penilaian
Unjuk Kerja
Bentuk Instrumen
Uji Petik Kerja Prosedur dan Produk
Instrumen
Lakukan kegiatan percobaan dalam LKS 01B. Ikuti prosedurnya sesuai petunjuk. Tuliskan jawabanmu pada daftar tabel 2 LKS 01B tentang gaya dapat mengubah gerak benda. Jawablah daftar pertanyaan dalam LKS 01B

Indikator 2
Menunjukkan contoh penerapan gaya dapat mengubah gerak benda.
Teknik Penilaian
Tes Tertulis
Bentuk Instrumen
Uraian
Instrumen
1. Tuliskan kegiatan sehari-hari yang membuktikan gaya dapat mengubah gerak benda!
2. Dari sebuah bola yang diberikan gaya dengan ditendang, uraikan apa saja yang dapat dilakukan gaya pada bola!

adapted from : bapak anwar kholil

Kamis, 27 Januari 2011

Tes Remidial: Masih Perlukah?





Pendahuluan
Pro-kontra soal tes dalam dunia pendidikan ternyata tidak hanya berkenaan dengan ujian nasional saja, tetapi juga berkenaan dengan apa yang disebut tes remidial. Di Indonesia, meski sudah menjadi ‘kebiasaan’ sehari-hari di sekolah tes ini tetap saja menyimpan kontroversi sampai sekarang ini.

Pro-kontra berkaitan dengan tes itu sekurang-kurangnya bisa dipetakan menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama menyetujui adanya tes remidial; kelompok kedua tidak menyetujui adanya tes remidial; sedangkan kelompok ketiga ingin menarik perspektif yang lebih luas tentang tes itu. Kelompok yang terakhir ini tidak mau terjebak dalam sikap pro dan kontra, melainkan berusaha mengambil jarak dari argumentasi yang sering mengemuka selama ini dan lantas membuat perspektif yang ’lain’.

Garis besar pandangan masing-masing kelompok kira-kira begini: Kelompok pro menyatakan tes remidial itu perlu karena berusaha memenuhi kriteria ketuntasan mengajar (KKM). Kelompok kontra sebaliknya berpendapat bahwa tidak ada kompetensi belajar siswa yang tuntas. Menurut kelompok kedua ini, pendekatan dan prinsip belajar tuntas terbukti cocok untuk model kurikulum berbasis materi, tetapi tidak cocok bagi model kurikulum berbasis kompetensi (KBK) pada jenis sekolah umum, yaitu SD, SMP, dan SMA. Sementara itu, kelompok ketiga beranggapan bahwa tes remidial selalu menempatkan siswa sebagai ’korban’ metodologi pembelajaran yang keliru. Karena itu, menurut kelompok ini, wacana tentang tes remidial seharusnya tidak melulu tertuju pada kegagalan atau bahkan lebih parah kebodohan siswa, melainkan jauh lebih penting dari itu pentingnya mengubah metodologi/cara mengajar guru. Betul bahwa ada yang salah dalam cara belajar siswa, atau ada masalah dalam motivasi belajarnya; akan tetapi, hal itu tidak memalingkan perhatian kita dari kenyataan bahwa sebetulnya adanya tes remidial itu sendiri secara implisit menunjukkan ada yang salah dalam cara mengajar guru sendiri.

Tulisan ini bermaksud untuk mengetengahkan ketiga pandangan itu secara lebih dalam dan runtut. Fokus perhatiannya, tentu saja, adalah pada pandangan yang ketiga. Penulis merasa bahwa kedua pandangan yang pertama sudah banyak dan lazim dibicarakan dalam forum-forum publik; sementara pandangan ketiga jarang sekali mengemuka padahal sangat penting untuk disadari terutama oleh semua pihak yang berhubungan dengan pendidikan/sekolah. Kalau tujuan untuk memperluas perspektif tentang tes remidial terkesan terlalu mewah, tulisan ini sekurang-kurangnya bertujuan untuk membagi salah satu perspektif tentang tes remidial itu; yaitu, tentang perspektif yang ketiga itu.

Untuk mempermudah pembahasan, kami akan membuat alur penulisan, sebagai berikut. Pada bagian pertama (I) akan dibahas tentang pandangan yang pro terhadap terhadap tes remidial. Bagian ini akan langsung disusul bagian kedua (II), yaitu tentang pandangan yang kontra terhadap tes remidial. Setelah bagian I dan II, akan dibuat rangkuman atas kedua pandangan tersebut (III). Bagian keempat (IV) akan mengetengahkan perspektif yang ’lain’, yang lebih luas, terhadap tes remidial. Pandangan Marc Prensky tentang dua tipologi yaitu digital natives dan digital immigrants dalam kaitannya dengan proses pembelajaran di kelas akan sangat membantu kami mengelaborasi bagian ini lebih dalam. Akhirnya, kami akan menutup tulisan ini dengan catatan dan tanggapan ringkas (V). Harapan kami, semoga tulisan ringkas ini memprovokasi wacana yang lebih dalam tentang tes remidial, dengannya membantu memperbaiki cara berpikir dan cara pandang tentang tes remidial dan semua jenis tes pada umumnya sekaligus membantu meningkatkan mutu pembelajaran di kelas.

I. Kelompok Pertama: Tes Remidial Itu Perlu

Umumnya ada dua alasan mengapa tes remidial diperlukan. Pertama, alasan legal-yuridis. Kedua, alasan pedagogis.

Dari kacamata legal-yuridis, penerapan tes remidial di sekolah-sekolah memang memiliki landasan hukum. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)[1] yang diberlakukan berdasarkan Permendiknas 22, 23, 24 Tahun 2006 dan Permendiknas No. 6 Tahun 2007 menerapkan sistem pembelajaran berbasis kompetensi, sistem belajar tuntas, dan sistem pembelajaran yang memperhatikan perbedaan individual peserta didik. Sistem dimaksud ditandai dengan dirumuskannya secara jelas standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang harus dikuasai peserta didik. Penguasaan SK dan KD setiap peserta didik diukur menggunakan sistem penilaian acuan kriteria. Jika mencapai standar tertentu, seorang peserta didik dinyatakan telah mencapai ketuntasan.

Pembelajaran tuntas (mastery learning) dalam proses pembelajaran berbasis kompetensi adalah pendekatan dalam pembelajaran yang mempersyaratkan peserta didik menguasai secara tuntas seluruh standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran tertentu.[2]

Pembelajaran tuntas dilakukan dengan pendekatan diagnostik/preskriptif. Strategi pembelajaran tuntas sebenarnya menganut pendekatan individual; artinya, meskipun ditujukan kepada sekelompok peserta didik (klasikal), kegiatan belajar juga mengakui dan memberikan layanan sesuai dengan perbedaan-perbedaan individual peserta didik sehingga potensi masing-masing mereka berkembang secara optimal.

Dari kacamata pedagogis, para pendukung tes remidial menyatakan bahwa ketuntasan penguasaan SK dan KD merupakan ukuran keberhasilan proses belajar peserta didik. Dengan kata lain, umumnya dikatakan proses pendidikan dalam sistem persekolahan kita belum dikatakan baik apabila peserta didik belum menguasai materi pembelajaran secara tuntas.[3]

Sehubungan dengan itu, belajar tuntas berlandaskan pada beberapa premis, di antaranya: (1) semua individu dapat belajar; (2) orang belajar dengan cara dan kecepatan yang berbeda; (3) dalam kondisi belajar yang memadai, dampak dari perbedaan individu hampir tidak ada; (4) kesalahan belajar yang tidak dikoreksi menjadi sumber utama kesulitan belajar.

Belajar tuntas didasari oleh keyakinan akan kemampuan belajar manusia. Setiap orang bisa belajar (secara tuntas), meski dengan tingkat kecepatan penguasaan yang berbeda-beda. Pendekatan ini juga mengakui bahwa kegagalan seseorang dalam sebuah tes tidak melulu karena ia bodoh, melainkan bisa jadi karena cara belajar yang keliru. Kelemahan ini nantinya akan diperbaiki dalam pembelajaran remidial (remidial teaching). Selain itu, pendekatan ini dianggap fair, sebab mengakui bahwa kondisi fisik-emosional-psikologis setiap orang ketika mengerjakan tes berbeda-beda sehingga berakibat pada hasil yang berbeda pula. Pemberian kesempatan untuk melakukan tes remidial dianggap sebagai realisasi prinsip fairness tersebut.

II. Kelompok Kedua: Tes Remidial Tidak Perlu

Kelompok yang menganggap tes remidial tidak perlu juga didasarkan pada beberapa alasan berikut ini.

Pertama, yang paling mendasar, pendekatan dan prinsip belajar tuntas (KKM) menyalahi filosofi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada jenis sekolah umum, yaitu SD, SMP, dan SMA. Menurut mereka, dalam model KBK tidak ada kompetensi belajar siswa yang tuntas. Pendekatan dan prinsip belajar tuntas terbukti cocok untuk model kurikulum berbasis materi, tetapi tidak cocok bagi model kurikulum berbasis kompetensi pada jenis sekolah umum, yaitu SD, SMP, dan SMA. Karena jenis kompetensi siswa di sekolah umum masih bersifat umum, tidak terlalu khusus, tidak kaku, dan tidak sekuensial (berurutan ketat sesuai dengan prasyarat kompetensi yang lebih tinggi), tak relevanlah diterapkan ketuntasan belajar. Tidak logis, jika siswa yang belum mampu menulis puisi disuruh mengikuti tes remidial minggu depan dan sim-salabim ia akan mampu dalam satu minggu.

Kedua, tes remidial tidak mempertimbangkan perbedaan potensi dan bakat yang nyata di antara masing-masing siswa. Apalagi kenyataan menunjukkan mata pelajaran yang diremidialkan itu umumnya tidak diminati oleh siswa. Selain faktor cara mengajar guru yang tidak menarik, salah satu faktornya adalah siswa memang tidak memiliki bakat dan potensi di bidang yang diremidialkan itu. Ringkasnya, tes remidial menyeragamkan potensi dan bakat siswa.[4]

Ketiga, implementasi/praktik tes remidial di sekolah-sekolah Indonesia dianggap salah kaprah. Ada dua hal yang mereka kemukakan berkaitan dengan hal ini. (1) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)[5] sudah jelas adalah model kurikulum berbasis kompetensi. Kompetensi adalah kemampuan siswa yang telah terbukti demonstrable, (dapat didemonstrasikan, dapat ditunjukkan), observable (dapat diamati dengan pancaindra), consistent (ajek, cenderung menetap dan bahkan berkembang), specific (khusus, tak terlalu umum), dan integrated (mengintegrasikan pengetahuan atau ranah kognitif, keterampilan atau ranah psikomotor, serta nilai dan sikap atau ranah afektif).

Namun, dalam kenyataan para guru masih dominan menilai siswa dengan menggunakan tes pilihan ganda dan esai dalam tes remedialnya. Menurut alur pandangan ini, kita tidak bisa menilai kompetensi berbicara dalam bahasa Inggris (English speaking) dan kompetensi menulis dalam bahasa Inggris (English writing) dengan dua jenis tes ini. Seharusnya dipakai alat penilaian unjuk kerja (performance) untuk English speaking dan alat penilaian indikator-skor maksimum yang menunjukkan bobot berbeda. Kita tidak bisa menilai kompetensi melakukan percobaan IPA, kompetensi menggunakan alat, kompetensi mengendalikan variabel, dan kompetensi membuat laporan percobaan IPA dengan tes pilihan ganda dan esai. Jika kedua tes ini yang dipakai, jelaslah penilaian itu tidak sahih (valid) karena salah menggunakan alat penilaian. Terjadi mismatch antara alat yang dipakai untuk menilai dan apa yang dinilai. Jika sebuah penilaian tidak sahih, otomatis penilaian itu tak terpercaya (unreliable).

Model tes remidial yang yang objektif-benar-sahih, dan ini juga berlaku untuk tes-tes yang lain seperti UN, adalah yang memasukkan pula bentuk penilaian praktikum dan penilaian portofolio berupa karya siswa dua (2) dimensi yang dimasukkan ke dalam portofolio karena ditulis pada kertas dua (2) dimensi (dimensi panjang dan dimensi lebar).

(2) Tes remidial yang selama ini dilakukan oleh sekolah-sekolah di seantero tanah air jarang sekali didahului remidial teaching (pengajaran remidial). Padahal, syarat mutlak pendekatan belajar tuntas adalah jika siswa tidak mencapai batas lulus KKM, kepadanya harus diberikan pengajaran remidial dengan metode yang berbeda. Misalnya, kalau materi tentang hukum Bernoulli sebelumnya diceramahkan dan ternyata siswa gagal, guru harus mengganti metode dalam pengajaran remidial, misalnya dengan praktikum menggunakan tabung Pitot; setelah itu, barulah siswa itu mengikuti tes remidial.

Keempat, masih ada hubungannya dengan poin kedua di atas, banyaknya mata pelajaran yang diikuti membuat tes remidial menjadi beban baik bagi siswa maupun bagi guru. Bayangkan, misalnya, seorang siswa karena satu dan lain hal terpaksa mengikuti tes remidial untuk 3-4 mata pelajaran. Persoalan menjadi tambah rumit ketika ketiga atau keempat mata pelajaran itu ternyata memang sejak awal tidak disukai atau tidak menjadi bakat/minatnya. Adanya tes remidial lalu menjadi seperti memikul beban berat. Di berbagai negara maju, demikian alur pandangan ini, siswa tidak diwajibkan mengikuti semua mata pelajaran. Terutama pada jenjang SMA, siswa yang bercita-cita menjadi dokter misalnya hanya dituntut lulus ujian nasional untuk tiga (3) mata pelajaran, misalnya Biologi, Kimia, dan Matematika. Siswa yang hendak memasuki fakultas teknik, jurusan teknik mesin misalnya, hanya mengikuti maksimal 4 mata pelajaran dalam ujian nasional seperti Fisika, Matematika, TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi), dan Bahasa Inggris. Siswa yang berencana menjadi ahli hukum hanya memilih mengikuti ujian tiga (3) mata pelajaran, misalnya Sosiologi, Sejarah, dan Pendidikan Kewarganegaraan.

Sistem pendidikan Indonesia seolah tidak mau peduli dan tidak mau belajar dari negara-negara lain yang telah berusaha melayani para siswa sesuai dengan perbedaan individualnya. Seolah-olah kemampuan siswa kita jauh melampaui taraf kemampuan siswa di negara-negara maju, yang lantas mendidiknya menjadi supermen atau superwomen: berupaya menguasai semua hal dan semua bidang, sesuatu yang dalam kenyataan mustahil terjadi. Kenyataan ini merupakan sesuatu yang ironis mengingat KTSP dikatakan berusaha menerapkan sistem pembelajaran yang memperhatikan perbedaan individual peserta didik.

Sementara itu, bagi guru banyaknya tes remidial berarti tambahan pekerjaan; apalagi, banyak sekolah yang tidak menyediakan honor khusus bagi guru-guru yang menyelenggarakan tes semacam ini. Hal itu jelas hanya menyita waktu dan tenaganya saja.

III. Rangkuman

Kedua pandangan di atas bisa diringkaskan sebagai berikut. Menurut kelompok yang pro, memang sudah selayaknya peserta didik menguasai secara tuntas seluruh standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran. Tes remidial dilakukan dalam rangka ketuntasan itu. Tanpa itu, proses belajar mengajar tidak bisa dikatakan berhasil. Alasan legal-yuridis melandasi implementasi tes itu sekaligus memperkuat keyakinan mereka. Sebaliknya, menurut kelompok kontra, tes remidial tidak sesuai filosofi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Tes ini dianggap kental berbau kurikulum berbasis materi, berusaha menyeragamkan potensi dan bakat siswa, menjadi beban baik bagi guru maupun bagi siswa, serta pelaksanaannya ternyata tidak mencerminkan filosofi ketuntasan belajar itu sendiri.

Penulis akan memberi tanggapan ringkas atas pandangan-pandangan mereka di bagian akhir tulisan ini. Sebelum itu, ada satu hal yang patut dicatat. Yaitu, kedua kelompok ini sama-sama baik implisit maupun eksplisit menempatkan kegagalan siswa dalam tes reguler sebagai faktor utama dan satu-satunya di balik pelaksanaan tes remidial. Seperti sudah disinggung sepintas di muka, siswa diperlakukan sebagai ’korban’, sebagai ’objek’ ketuntasan belajar, sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab terhadap dilaksanakannya tes remidial.

Paparan di bagian keempat berikut ini mau menunjukkan bahwa ’tes remidial’ dan sejenisnya itu merupakan produk dari ketidakkompetenan (incompetence) guru juga, terutama dalam menyajikan bahan pelajaran secara menarik (fun learning) dan inovatif melalui dukungan teknologi digital. Jadi, adanya tes remidial sekaligus juga menunjukkan secara implisit bahwa ada yang salah dalam cara mengajar guru. Dengan demikian, ’tanggung jawab’ terhadap terjadinya tes remidial tidak melulu ’ditimpakan’ kepada murid/siswa.

IV. Kelompok Ketiga: Perspektif yang ’Lain’ sekaligus Tantangan Masa Depan

Dalam tulisannya dalam jurnal pendidikan ”On The Horizon”[6] Marc Prensky, seorang pemerhati dan konsultan pendidikan ternama menulis bahwa tantangan utama proses belajar mengajar di masa depan adalah guru; yaitu, guru yang profesional, adaptif, melek teknologi, kreatif, dan inovatif. Beginilah penjelasan Persky:

Menurutnya, siswa dewasa ini bukan bagi orang-orang yang menjadi sasaran desain mengajar dari sistem pendidikan kita.[7] Siswa berubah secara dramatis. Yang berubah tidak hanya cara mereka berpakaian, merawat diri, berbicara, gaya, dan seterusnya; melainkan bahkan telah terjadi diskontinuitas yang besar. Faktor utama yang menggerakkan perubahan itu adalah penyebaran teknologi digital sejak dekade terakhir abad ke-20. Komputer, videogame, digital music players, video cams, telepon genggam, email, internet, dan semua bentuk permainan yang dihasilkan oleh abad digital ini. Semua itu menjadi bagian integral dari hidup mereka.

Sebagai akibatnya, lanjut Persky, siswa dewasa ini memikirkan dan memproses informasi secara fundamental berbeda dari generasi-generasi sebelumnya. Perbedaan itu bahkan jauh melampaui apa yang diduga dan disadari oleh sebagian besar guru. “Jenis pengalaman yang berbeda menghasilkan struktur otak yang berbeda pula,”[8] kata Persky mengutip pendapat Dr. Bruce D. Perry dari Baylor College of Medicine. Sangat mungkin bahwa otak para siswa kita secara fisik berubahdan berbeda dari otak kita – sebagai hasil dari perubahan lingkungannya (baca: teknologi digital itu). Namun, terlepas dari benar-tidaknya pernyataan itu secara harfiah, kita dapat mengatakan dengan yakin bahwa pola-pola berpikir (thinking patterns) mereka telah berubah.

Inilah yang disebut dengan net generation atau digital generation, atau dalam istilah Persky sendiri digital natives. Semua siswa kita dewasa ini merupakan native speakers dari bahasa digital komputer, video games, dan internet. ‘Aksen’ teknologi menjadi bagian integral dari ‘aksen’ mereka juga.

Lalu, istilah apa yang pas untuk para guru? Menurut Persky, mereka adalah digital immigrants. Bahkan menurut para ilmuwan, mereka menempati bagian otak yang berbeda ketika berhadapan dengan teknologi. Sebagaimana halnya semua imigran dalam arti harafiah, ketika belajar para digital immigrants (selanjutnya disingkat DI) umumnya mempertahankan pada tingkat tertentu “aksen lama mereka’, yaitu pola belajar-mengajar dan cara berpikir mereka. Ada banyak contoh ’aksen’ DI. Misalnya, mencetak email atau bahkan meminta sekretaris mencetaknya untuk mereka, perlunya terlebih dahulu mencetak sebuah dokumen yang ada di komputer sebelum membacanya atau menyuntingnya daripada langsung menyuntingnya di layar; membawa seseorang secara fisik ke ruangan kantor Anda untuk melihat sebuah situs menarik daripada mengirimkannya URL.

Menurut Persky, masalah terbesar yang dialami dunia pendidikan kita adalah para guru DI kita, yang berbicara dengan bahasa yang ketinggalan zaman (bahasa dari abad pra-digital), mengajar suatu populasi yang berbicara dengan bahasa yang sama sekali berbeda. Akibatnya, yang terjadi adalah cara mengajar mereka tidak nyambung dengan ’struktur otak dan pengalaman’ para digital natives (selanjutnya: DN). Inilah ciri-ciri DN itu:[9] terbiasa menerima informasi dengan begitu cepat, suka proses pararel dan multi-task, lebih suka melihat grafik terlebih dahulu daripada teks dan bukan sebaliknya, lebih suka akses acak (random access) seperti hypertext. Mereka belajar dengan baik ketika dibuat dalam jaringan (networked), lebih berusaha mengejar gratifikasi dan penghargaan yang sering. Selain itu, mereka lebih suka permainan-permainan (games) daripada proses belajar-mengajar yang kaku dan ’serius’.

Sayangnya, DI biasanya sedikit sekali menaruh perhatian para keterampilan-keterampilan baru ini yang telah diperoleh dan dikuasai oleh para DN melalui serangkaian interaksi dan praktik sebelumnya. Keterampilan-keterampilan ini hampir semuanya asing bagi DI, yang juga mempelajarinya dan mengajarinya dengan begitu perlahan, langkah demi langkah, satu per satu, secara individual, dan di atas semuanya itu secara serius. Menurut Persky, siswa DN tidak sabaran dengan semua hal berikut ini: bahan-bahan kuliah, logika langkah demi langkah, dan cara belajar tell-test. Mereka lebih suka belajar di depan TV atau sambil nonton video-game, terbiasa dengan hiperteks yang cepat, unduh musik, telepon genggam di saku, perpustakaan di laptop mereka, pesan-pesan beamed atau instant messaging.

DI tidak akan percaya kalau siswanya dapat belajar dengan baik sambil menonton TV atau mendengarkan musik, karena mereka sendiri tidak (bisa/pernah) melakukan hal yang sama. DI berpandangan learning can’t (or shouldnt) be fun.

Lalu, apa hubungan antara semua penjelasan Persky ini dan tes remidial? Saya hanya ingin menegaskan sekali lagi poin penting ini: bahwa faktor kegagalan siswa dalam tes ‘reguler’ yang berbuntut tes remidial itu seyogyanya tidak ditimpakan kepada siswa semata; melainkan, juga pada guru. Siswa generasi sekarang berbeda dengan siswa generasi dulu ketika para guru yang mengajar sekarang masih menjadi siswa-siswa sekolah menengah. Karena itu, metodologi/cara mengajar guru seyogyanya juga adaptif, kreatif, dan inovatif. Untuk sampai ke situ, guru masa sekarang dan guru masa depan, menurut saya, dituntut untuk lebih profesional, melek teknologi agar bisa menyesuaikan diri dengan “struktur otak” para digital natives.

Mungkin betul bahwa sebagian kegagalan dalam tes ‘reguler’ itu disebabkan karena kondisi fisik-emosional-psikologis siswa yang kurang stabil, atau karena siswa itu sendiri malas belajar. Akan tetapi, besar juga kemungkinan bahwa mereka yang gagal itu sebetulnya anak-anak cerdas dan mampu secara intelektual, yang sayangnya tidak bisa menangkap penjelasan guru karena kurang nyambung dengan “bahasa” guru-guru mereka. Hal ini merupakan tantangan bagi para guru di tengah generasi digital natives dewasa ini.

V. Tanggapan

Tulisan ini telah memetakan dua pandangan yang sering mengemuka berkaitan dengan tes remidial sekaligus mengetengahkan perspektif ’lain’ yang jarang terungkap. Lalu, bagaimanakah sikap kita yang terbaik terhadap tes remidial itu?

Pada bagian ini, saya akan menunjukkan bahwa kedua pandangan dia tas (pro dan kontra) sama-sama mengandung kelebihan dan kelemahan. Lalu saya akan menunjukkan mengapa perspektif yang ‘lain’ itu perlu dipertimbangkan untuk mengisi kelemahan kedua perspektif itu.

“Jalan Tengahnya” begini: tes remidial itu perlu, tetapi tidak cukup kalau hanya mengukur pengetahuan tingkat rendah (kognisi). Enduring understanding siswa terhadap setiap mata pelajaran, bagaimanapun juga, sangat penting. Di Indonesia, tes remidial itu memang identik dengan pilihan ganda dan esai, dan jarang terdengar tes remidial berupa performance test (unjuk kerja). Itu tidak berarti tes remidial untuk mengukur pengetahuan tingkat rendah itu tidak penting; hanya, perlu berjalan seiring dengan performance test. Sebab, bagaimanapun juga penguasaan dan pemahaman basic knowledge itu penting untuk menguasai pengetahuan tingkat yang lebih tinggi.

Untuk mengantisipasi terlalu banyak mata pelajaran yang diremidialkan, hal mana akan sangat merepotkan siswa dan guru, menurut saya tidak semua mata pelajaran diremidialkan. Cukup mata pelajaran tertentu saja, yaitu mata-mata pelajaran penting dan mata pelajaran yang memang sesuai dengan minat dan bakatnya. Karena itu, guru harus benar-benar mengenal potensi dan bakat masing-masing siswanya. Bagaimana menentukannya? Menurut saya siswa dan guru perlu membuat semacam kontrak di awal semester. Guru seyogyanya membicarakan hal ini dan membuat kebijakan yang baik bagi siswa (-siswa)nya. Selain itu, melalui dialog dan interaksi personal dengan masing-masing siswa.

Catatan penting berikutnya adalah mutlak perlu adanya remidial teaching, misalnya after class. Tanpa itu, tes remidial yang dilaksanakan bakal mengulangi kesalahan yang sama.

Di atas semuanya itu, guru di generasi digital natives ini dituntut untuk lebih profesional, melek teknologi sehingga bisa menciptakan proses belajar mengajar yang menarik dan menyenangkan, yang nyambung dengan “bahasa” para generasi digital natives itu.

Contributed from : http://www.erlangga.co.id

Rabu, 26 Januari 2011

Download Aplikasi NUPTK Web Browser


NUPTK (Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan) anda dapat dilihat secara cepat tanpa harus melalui peramban web atau tanpa membuka jendela web NUPTK yang kemungkinan bisa menyita banyak waktu apalagi kalau jaringan koneksi internetnya lelet, wah bisa berjam-jam dapatnya. Sekarang hal yang seperti itu sudah tidak jamannya lagi karena sekarang sudah ada software atau aplikasi pencari data NUPTK secara langsung tanpa berbelit banyak langkah. Namanya NUPTK Web Browser. Anda tidak hanya dapat mencari NUPTK anda saja, NUPTK guru-guru seluruh Indonesia pun dapat anda cari melalui software ini. Tentu saja anda harus tetap terhubung secara online melalui internet. Aplikasi NUPTK Web Browser dapat anda unduh di sini. Anda tinggal klik link di bawah ini! Bila download-nya sudah finish, klik dua kali NUPTK Web Browser-nya. Kemudian anda tinggal berselancar di dalamnya. Cari NUPTK anda berdasarkan, Provinsi, Kabupaten/Kota, Sekolah, Nama, Tanggal Lahir, Tempat Lahir, dan lain-lain. Kemudian anda tinggal download NUPTK-nya. Selesai. Selamat mencoba!
Download NUPTK Web Browser

Download juga panduannya, jika NUPTK anda mengalami masalah misalnya ditolak atau dibatalkan.
Panduan NUPTK


Senin, 24 Januari 2011

Menciptakan Kelas Masa Depan




Gambaran kelas masa depan disampaikan oleh Gary Flewelling dan William Higginson (2003). Menurut kedua ahli tersebut gambaran kelas masa depan yang berkaitan dengan pengertian disiplin/mata pelajaran/pokok bahasan, peran dan fungsi guru, peran siswa peserta didik adalah sebagai berikut:

1. Mata pelajaran/Pokok bahasan

Mata pelajaran atau dalam lingkup yang lebih kecil adalah pokok bahasan pada hakikatnya merupakan pengalaman yang berbeda-beda bagi setiap siswa, berkembang sebagai cara berpikir (way of thinking), cara untuk berkomunikasi, baik antar siswa, antar guru, antara siswa dengan guru, cara untuk memandang dunia yang memiliki hubungan yang signifikan dengan seluruh aspek pengalaman manusia.

2. Guru

Seorang guru hendaknya :

  • Memberikan stimulasi kepada siswa dengan menyediakan tugas-tugas pembelajaran yang kaya (rich learning tasks) dan terancang baik untuk meningkatkan perkembangan intelektual, emosional, spiritual dan sosial.
  • Berinteraksi dengan siswa untuk mendorong keberanian, mengilhami, menantang, berdiskusi, berbagi, menjelaskan, menegaskan, merefleksi, menilai dan merayakan perkembangan, pertumbuhan dan keberhasilan.
  • Menunjukkan keuntungan/manfaat yang diperoleh dari mempelajari suatu pokok bahasan
  • Berperan sebagai seseorang yang membantu, seseorang yang mengerahkan dan memberi penegasan, seseorang yang memberi jiwa dan mengilhami siswa dengan cara membangkitkan rasa ingin tahu, rasa antusias, gairah dari seorang pembelajar yang berani mengambil risiko (risk taking learner), dengan demikian guru berperan sebagai pemberi informasi (informer), fasilitator dan seorang artis.

3. Siswa

Seorang siswa harus :

  • Membangun pengetahuannya sendiri terkait pokok bahasan/mata pelajaran melalui proses eksplorasi, interaksi dan refleksi dan berpusat pada tugas pembelajaran yang kaya
  • Mengembangkan dan meningkatkan keterampilan sesuai dengan bidang bahasan mata pelajaran, mengembangkan keterampilan berkomunikasi, memecahkan masalah, pemikiran logis, pemikiran kreatif, teknologi, kemampuan mandiri dan salingketergantungan.
  • Menggunakan keterampilannya agar dapat bekerja secara efektif, penuh percaya diri, peka dan penuh kejujuran dalam situasi yang penuh tantangan baru, penuh kompleksitas dan kendala, perbedaan, bias, ketidaktentuan dan berbagai kerancuan.
  • Berperan sebagai individu yang mampu menyeleksi dan menggunakan secara bijaksana berbagai kaidah dan hukum keilmuan yang telah ada, memahami prinsip-prinsip dan pola yang melatarbelakangi berbagai hukum tersebut, menciptakan hukum-hukum baru agar bisa lebih efektif sesuai dengan situasi yang sedang berlangsung, maka peran utama siswa adalah sebagai pengguna ilmu, penuntut ilmu dan pencipta ilmu (complier, cognizer and creator).

Berdasar paradigma mutakhir tentang Kelas Masa Depan di atas, maka jargon aktif, kreatif, efektif adalah conditio sine quanon (syarat mutlak) bagi berlangsungnya pembelajaran. Singkatnya, pembelajaran yang tidak memenuhi syarat aktif, kreatif dan efektif bukan pembelajaran namanya. Pada gilirannya pembelajaran yang aktif, kreatif dan efektif akan lebih menarik minat siswa, siswa merasakan manfaat dan guna belajar (meaningful learning) dan atmosfer pembelajaran yang menyenangkan (joyful learning) secara otomatis akan tercapai. Apa yang pernah diteliti dan disampaikan oleh Vernon A. Magnesen (Gordon Dryden dan Jeannette Vos dalam The Learning Revolution, 1999) agaknya memperkuat esensi pembelajaran aktif, yakni bahwa kita belajar dari :

a. 10% dari apa yang kita baca

b. 20% dari apa yang kita dengar

c. 30% dari apa yang kita lihat

d. 50% dari apa yang kita lihat dan dengar

e. 70% dari apa yang kita katakan

f. 90% dari apa yang kita katakan dan lakukan

Terlihat bahwa makin aktif kita makin banyak belajar pula kita. Dalam pada itu para ahli pembelajaran kontekstual mengatakan bahwa:” Siswa akan belajar baik jika secara aktif mengkonstruksikan pemahaman mereka sendiri” (CTL Academy Fellow, 1999).

Contributed from : http://anwarholil.blogspot.com

Model Pengajaran Langsung


Saya kurang sependapat bila ada yang menyatakan pengajaran langsung identik dengan pengajaran ceramah. Memang pengajaran langsung didesain berorientasi pada guru. Dalam praktiknya sangat bergantung pada kemampuan guru mengelola pembelajaran. Pengajaran ini relevan bagi guru yang ingin mengajar eksprimen atau percobaan. Model pengajaran langsung (Direct Instruction) merupakan salah satu model pengajaran yang dirancang khusus untuk mengembangkan belajar siswa tentang pengetahuan prosedural dan pengetahuan deklaratif yang terstruktur dengan baik dan dapat dipelajari selangkah demi selangkah (Kardi dan Nur, 2000: 5).
Hal ini juga senada dengan pendapat Arends (1997: 66) yang mengatakan 'The direct instruction model was specifically designed to promote student learning of procedural knowledge and declarative knowledge that is well structured and can be taught in a step-¬by step fashion." Adapun yang dimaksud dengan pengetahuan deklaratif (dapat diungkapkan dengan kata kata) adalah pengetahuan tentang sesuatu, sedangkan pengetahuan prosedural adalah pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu (Kardi dan Nur, 2000: 5). Proses pembelajaran dengan model pengajaran langsung ini diharapkan pemahaman pengetahuan deklaratif dan prosedural dapat meningkatkan keterampilan dasar dan keterampilan akademik siswa. Model pengajaran langsung memiliki ciri-ciri seperti berikut (Kardi dan Nur, 2000c: 3).
  1. Adanya tujuan pembelajaran dan pengaruh model pada siswa termasuk prosedur penilaian hasil belajar.
  2. Sintaks atau pola keseluruhan dan alur kegiatan pembelajaran.
  3. Sistem pengelolaan dan lingkungan belajar model yang diperlukan agar kegiatan pembelajaran tertentu dapat berlangsung dengan berhasil.
Sintaks Pengajaran Langsung
Pada setiap model pengajaran memiliki sintaks atau fase-fase pengajaran yang berbeda antara satu model pengajaran dengan model pengajaran yang lain. Model pengajaran langsung memiliki lima fase yang sangat penting, yaitu guru mengawali pengajaran dengan penjelasan tentang tujuan dan latar belakang pembelajaran, serta mempersiapkan siswa untuk menerima penjelasan guru. Selanjutnya diikuti oleh presentasi materi ajar yang diajarkan atau demonstrasi tentang keterampilan tertentu. Pelajaran itu termasuk juga pemberian kesempatan kepada siswa untuk melakukan pelatihan dan pemberian umpan balik terhadap keberhasilan siswa.
Kelima fase dalam pengajaran langsung dapat dijelaskan secara detail seperti berikut.

a. Menyampaikan Tujuan dan Mempersiapkan Siswa
1. Menjelaskan Tujuan
Para siswa perlu mengetahui dengan jelas, mengapa mereka berpartisipasi dalam suatu pelajaran tertentu, dan mereka perlu mengetahui apa yang harus dapat mereka lakukan setelah selesai berperan serta dalam pelajaran itu. Guru mengkomunikasikan tujuan tersebut kepada siswa–siswanya melalui rangkuman rencana pembelajaran dengan cara menuliskannya di papan tulis, atau menempelkan informasi tertulis pada papan buletin, yang berisi tahap-tahap dan isinya, serta alokasi waktu yang disediakan untuk setiap tahap. Dengan demikian siswa dapat melihat keseluruhan alur tahap pelajaran dan hubungan antar tahap tahap pelajaran itu.
2. Menyiapkan Siswa
Kegiatan ini bertujuan untuk menarik perhatian siswa, memusatkan perhatian siswa pada pokok pembicaraan, dan mengingatkan kembali pada hasil belajar yang telah dimilikinya, yang relevan dengan pokok pembicaraan yang akan dipelajari. Tujuan ini dapat dicapai dengan jalan mengulang pokok-pokok pelajaran yang lalu, atau memberikan sejumlah pertanyaan kepada siswa tentang pokok-pokok pelajaran yang lalu.

b. Mendemonstrasikan Pengetahuan atau Keterampilan
Kunci keberhasilan pada fase ini yaitu mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan sejelas mungkin dan mengikuti langkah-langkah demonstrasi yang efektif.
1. Menyampaikan informasi dengan jelas
Kejelasan informasi atau presentasi yang diberikan guru kepada siswa dapat dicapai melalui perencanaan dan pengorganisasian pembelajaran yang baik. Dalam melakukan presentasi guru harus menganalisis keterampilan yang kompleks menjadi keterampilan yang lebih sederhana dan dipresentasikan dalam langkah-langkah kecil selangkah demi selangkah.
Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam penyampaian informasi/presentasi adalah: (1) kejelasan tujuan dan poin-poin utama, yaitu menfokuskan pada satu ide (titik, arahan) pada satu waktu tertentu dan menghindari penyimpangan dari pokok bahsan/LKS; (2) presentasi selangkah demi selangkah; (3) prosedur spesifik dan kongkret, yaitu berikan siswa contoh-contoh kongkrit dan beragam, atau berikan kepada siswa penjelasan rinci dan berulang-ulang untuk poin-poin yang sulit; (4) pengecekan untuk pemahaman siswa, yaitu pastikan bahwa siswa memahami satu poin sebelum melanjutkan ke poin berikutnya, ajukan pertanyaan kepada siswa untuk memonitor pemahaman mereka tentang apa yang telah dipresentasikan, mintalah siswa mengikhtisarkan poin-poin utama dalam bahasan mereka sendiri, dan ajarkan ulang bagian-bagian yang sulit dipahami oleh siswa, dengan penjelasan guru lebih lanjut atau dengan tutorial sesama siswa (Kardi dan Nur, 2000: 32).
2. Melakukan Demonstrasi
Pengajaran langsung berpegang teguh pada asumsi bahwa sebagian besar yang dipelajari berasal dari pengamatan terhadap orang lain. Tingkah laku orang lain yang baik maupun yang buruk merupakan acuan siswa, sehingga perlu diingat bahwa belajar melalui pemodelan dapat mengakibatkan terbentuknya tingkah laku yang kurang sesuai atau tidak benar. Oleh karena itu, agar dapat mendemonstrasikan suatu keterampilan atau konsep dengan berhasil, guru perlu sepenuhnya menguasai konsep atau keterampilan yang akan didemonstrasikan, dan berlatih melakukan demonstrasi untuk menguasai komponen-komponennya.

c. Menyediakan Latihan Terbimbing
Salah satu tahap penting dalam pengajaran langsung adalah cara guru mempersiapkan dan melaksanakan “pelatihan terbimbing.” Keterlibatan siswa secara aktif dalam pelatihan dapat meningkatkan retensi, membuat belajar berlangsung dengan lancar, dan memungkinkan siswa menerapkan konsep/keterampilan pada situasi yang baru atau yang penuh tekanan. Beberapa prinsip yang dapat digunakan sebagai acuan bagi guru dalam menerapkan dan melakukan pelatihan adalah seperti berikut (Kardi dan Nur, 2000: 34).
  1. Tugasi siswa melakukan latihan singkat dan bermakna.
  2. Berikan pelatihan sampai benar-benar menguasai konsep/keterampilan yang dipelajari.
  3. Hati-hati terhadap kelebihan dan kelemahan latihan berkelanjutan (massed practice) dan latihan terdistribusi (distributed practiced).
  4. Perhatikan tahap-tahap awal pelatihan.

d. Mengecek Pemahaman dan Memberikan Umpan Balik
Pada pengajaran langsung, fase ini mirip dengan apa yang kadang-kadang disebut resitasi atau umpan balik. Guru dapat menggunakan berbagai cara untuk memberikan umpan balik kepada siswa. Beberapa pedoman dalam memberikan umpan balik efektif yang patut dipertimbangkan oleh guru seperti berikut (Kardi dan Nur, 2000: 38).
  1. Berikan umpan balik sesegera mungkin setelah latihan.
  2. Upayakan agar umpan balik jelas dan spesifik.
  3. Konsentrasi pada tingkah laku, dan bukan pada maksud.
  4. Jaga umpan balik sesuai dengan tingkat perkembangan siswa.
  5. Berikan pujian dan umpan balik pada kinerja yang benar.
  6. Apabila memberikan umpan balik yang negatif, tunjukkan bagaimana melakukannya dengan benar.
  7. Bantulah siswa memusatkan perhatiannya pada “proses” dan bukan pada “hasil.”
  8. Ajari siswa cara memberi umpan balik kepada dirinya sendiri, dan bagaimana menilai kinerjanya sendiri.
e. Memberikan Kesempatan Latihan Mandiri
Kebanyakan latihan mandiri yang diberikan kepada siswa sebagai fase akhir pelajaran pada pengajaran langsung adalah pekerjaan rumah. Pekerjaan rumah atau berlatih secara mandiri, merupakan kesempatan bagi siswa untuk menerapkan keterampilan baru yang diperolehnya secara mandiri. Kardi dan Nur (2000: 43) memberikan tiga panduan umum latihan mandiri yang diberikan sebagai pekerjaan rumah seperti berikut.
  1. Tugas rumah yang diberikan bukan merupakan kelanjutan dari proses pembelajaran, tetapi merupakan kelanjutan pelatihan atau persiapan untuk pembelajaran berikutnya.
  2. Guru seyogyanya menginformasikan kepada orang tua siswa, tentang tingkat keterlibatan yang diharapkan.
  3. Guru seharusnya memberikan umpan balik tentang pekerjaan rumah tersebut.
Contributed from : http://anwarholil.blogspot.com

Sabtu, 22 Januari 2011

Video Pembelajaran Segitiga Segiempat (Sega Sepat)

Bagi para bapak dan ibu guru sekolah dasar yang mengalami kesulitan dalam menyampaikan konsep pembelajaran matematika khususnya pada Kompetensi Dasar "Bidang Datar Segitiga Segiempat". Berikut adalah video pembelajaran tentang pembelajaran segitiga segiempat, yang mungkin bisa dijadikan sebagai sumber acuan atau referensi dalam mengajar matematika.


Minggu, 02 Januari 2011

Video Pembelajaran "Benda-Benda Langit"

Bagi para peserta didik kelas 6, berikut adalah video pembelajaran tentang benda-benda langit. Silahkan dipelajari, untuk selanjutnya para peserta didik dapat mengembangkan sendiri tujuan pembelajarannya.


Download Lagu-Lagu Sunda Untuk Anak




Sudah saatnya kita perlu peduli dan ikut melestarikan lagu-lagu daerah warisan dari budaya bangsa Indonesia agar tidak lagi diklaim sebagai budaya bangsa lain. Kalau tidak kita, siapa lagi yang akan peduli? Kalau tidak sekarang, terus kapan lagi? Apakah kita ingin kejadian yang lalu akan terulang lagi? Saat ketika budaya "Batik, Wayang Kulit, Reog, Lagu Rasa Sayange, Nasi Kebuli dan lain-lain" diklaim sebagai budaya milik Negara Malaysia. Kita marah, kita tidak rela jika budaya kita dicuri oleh bangsa lain. Untuk itu diperlukan tindakan nyata dari seluruh rakyat Indonesia agar senantiasa melestarikan budaya bangsa kita sendiri. Salah satu contohnya adalah memperkenalkan lagu-lagu daerah kepada anak-anak sekolah selaku generasi penerus bangsa. Agar mereka dapat menghargai kebudayaan daerah yang merupakan sebagai bagian dari kebudayaan nasional. Dibawah ini adalah link-link download lagu sunda anak-anak. Lagu-lagu ini hanya berfungsi sebagai media pembelajaran bagi para peserta didik kelas 5 dan kelas 6. Kami tidak bermaksud untuk menyebarluaskan tanpa ijin atau membajak. Oleh karena itu, bagi para pengunduh kami sarankan untuk membeli kaset cd original-nya agar mereka terus berkarya.

  1. Lain Teu Hoyong
  2. Maliding
  3. Euing Sumput
  4. Calindeng Suara
  5. Beurit Euing
  6. Calistung
  7. Cuek Mamah
  8. Keun Wae
  9. Kuda Renggong
  10. Marake HP
  11. Mugi Hawatos
  12. Nonton Calung
  13. Tepung Taun