Sabtu, 27 Maret 2010
Pembelajaran Bilangan Prima
Alat Peraga Replika Mesin Uap
Cara pembuatan :
- Tempelkan dua kaleng bedak purol bekas diatas kaleng roti bekas dengan lem plastik stil.
- Buatlah lubang dengan paku besar selebar pipa besi yang berdiameter 1,5cm pada kaleng baigon bekas, kemudian tempelkan pipa besi yang berdiameter 1,5 cm dan panjangnya 5 – 10 cm pada kaleng baigon bekas
- Tempelkan kaleng baigon bekas diatas dua kaleng bedak purol bekas
- Buatlah lubang kecil pada kaleng baigon bekas, masukkan pipa tembaga kecil dan lem dengan plastik stil sampai rapat
- Buatlah baling-baling dari kaleng sprite bekas, berilah penyangga kawat/jeruji sepeda dan letakkan baling-baling tersebut diatas kaleng cat bekas kecil
- Buatlah kawat penyangga yang di lem dengan kaleng cat bekas ukuran sedang
- Buatlah 2 sentir yang berasal dari kaleng obat padi bekas yang diisi dengan spirtus
- Sebelum api dinyalakan, isilah air ke dalam kaleng baigon bekas secukupnya
- Tutuplah pipa dengan plastik dan ikatlah dengan karet gelang
- Replika mesin uap dioperasikan
Cara penggunaannya adalah Mengisi air secukupnya pada tabung/kaleng yang atas dan diberi sumber energi panas menggunakan sentir/lilin (lampu minyak) sehingga air akan mendidih dan menguap lewat pipa tembaga kecil dan menyemprot ke baling-baling sehingga baling-baling dapat bergerak.
Tim Produksi :
LRC (Learning Resource Coordinator) : Drs. Sujito
Ketua PSBG : Karyono
PBS 1 : Purwanto, S.Pd
PBS 2 : Sri Suwarni, S.Pd
Untuk lebih jelasnya Klik di sini
Jumat, 26 Maret 2010
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Faktor-Faktor Penyebab Kesulitan Belajar pada Anak
Setelah sang anak diberi kacamata, ia tidak salah lagi menulis soal dan nilai matematikanya menjadi baik. Contoh ini menunjukkan bahwa penglihatan yang kurang baik dapat menjadi salah satu penyebab kesulitan belajar siswa. Dalam hal ini tulisan maupun peragaan guru kurang bisa dilihat sehingga informasi guru tidak sampai dengan sempurna. Setiap guru mendambakan para siswanya dapat belajar dengan baik. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Sehingga guru mungkin pernah menemui atau mengalami beberapa siswa yang selalu membikin ulah, selalu mengacau, rendah diri, malas, lambat menghafal, ataupun membenci mata pelajaran IPA, Matematika, ataupun Bahasa Inggris.
Di sisi lain ada siswa yang biasa ceria tetapi dengan tiba-tiba saja menjadi murung dan malas belajar. Pertanyaan yang mungkin muncul adalah, mengapa hal seperti itu dapat terjadi? Kenyataan-kenyataan ini menunjukkan bahwa siswa dapat mengalami hal-hal yang menyebabkan ia tidak dapat belajar atau melakukan kegiatan selama proses pembelajaran sedang berlangsung. Mungkin juga, si siswa dapat belajar atau melakukan kegiatan selama proses pembelajaran sedang berlangsung, namun tidak maksimal.
Faktor penyebabnya dapat berasal dari dalam diri si anak sendiri dan dapat juga dari luar. Pada contoh pertama, seorang anak mengalami hambatan belajar yang disebabkan oleh faktor penglihatan yang kurang baik, sedangkan pada contoh kedua, hambatan belajar tersebut lebih disebabkan oleh
faktor kejiwaan pada diri anak tersbut.
1. Faktor Fisiologis
Faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa ini berkait dengan kurang berfungsinya otak, susunan syaraf ataupun bagian-bagian tubuh lain.
Akibatnya ia akan mengalami hambatan ketika belajar. Di samping itu, siswa yang sakit-sakitan, tidak makan pagi, kurang baik pendengaran, penglihatan ataupun pengucapannya sedikit banyak akan menghadapi kesulitan belajar. Untuk menghindari hal tersebut dan untuk membantu siswanya, seorang guru hendaknya memperhatikan hal-hal yang berkait dengan kesulitan siswa ini. Seorang siswa dengan pendengaran ataupun penglihatan yang kurang baik, sebaiknya menempati tempat di bagian depan. Untuk para orang tua, terutama ibu, makanan selama masa kehamilan akan sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik putra-putrinya . Makanan yang dapat membantu pertumbuhan otak dan sistem syaraf bayi yang masih di dalam kandungan haruslah menjadi perhatian para orang tua.
2. Faktor Sosial
Merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah jika orang tua dan masyarakat sekeliling sedikit banyak akan berpengaruh terhadap kegiatan belajar dan kecerdasan siswa sebagaimana ada yang menyatakan bahwa sekolah adalah cerminan masyarakat dan anak adalah gambaran orang tuanya. Oleh karena itu ada beberapa faktor penyebab kesulitan belajar yang berkait dengan sikap dan keadaan keluarga serta masyarakat sekeliling yang kurang mendukung siswa tersebut untuk belajar sepenuh hati. Sebagai contoh, orang tua yang sering menyatakan bahwa Bahasa Inggris adalah bahasa setan (karena sulit) akan dapat menurunkan kemauan anaknya untuk belajar bahasa pergaulan internasional itu. Kalau ia tidak menguasai bahan tersebut ia akan mengatakan “ Ah Bapak saya tidak bisa juga.” Untuk itu, setiap guru tidak seharusnya menyatakan sulitnya mata pelajaran tertentu di depan siswanya. Tetangga yang mengatakan sekolah tidak penting karena banyak sarjana menganggur, masyarakat yang selalu minum-minuman keras dan melawan hukum, orang tua yang selalu marah, nonton TV setiap saat, tidak terbuka ataupun kurang menyayangi anaknya dengan sepenuh hati dapat merupakan contoh dari beberapa faktor sosial yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa.
Intinya, lingkungan di sekitar siswa harus dapat membantu mereka untuk belajar semaksimal mungkin selama mereka belajar di sekolah. Dengan cara seperti ini, lingkungan dan sekolah akan membantu para siswa, harapan bangsa ini untuk berkembang dan bertumbuh menjadi lebih cerdas. Siswa dengan kemampuan cukup seharusnya dapat dikembangkan menjadi siswa berkemampuan baik, yang berkemampuan kurang dapat dikembangkan menjadi berkemampuan cukup. Sekali lagi, orang tua, guru, dan masyarakat, secara sengaja atau tidak sengaja, dapat menyebabkan kesulitan bagi siswa. Karenanya, peran orang tua dan guru dalam membentengi para siswa dari pengaruh negatif masyarakat sekitar, di samping perannya dalam memotivasi para siswa untuk tetap belajar menjadi sangat menentukan.
3. Faktor Kejiwaan
Faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa ini berkait dengan kurang mendukungnya perasaan hati (emosi) siswa unutuk belajar secara sungguh-sungguh. Sebagai contoh, ada siswa yang tidak suka mata pelajaran tertentu karena ia selalu gagal mempelajari mata pelajaran itu. Jika hal ini terjadi, siswa tersebut akan mengalami kesulitan belajar yang sangat berat. Hal ini merupakan contoh dari faktor emosi yang menyebabkan kesulitan belajar. Contoh lain adalah siswa yang rendah diri, siswa yang ditinggalkan orang yang paling disayangi dan menjadikannya sedih berkepanjangan akan mempengaruhi proses belajar dan dapat menjadi faktor penyebab kesulitan belajarnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang dapat mempelajari suatu mata pelajaran dengan baik akan menyenangi mata pelajaran tersebut. Begitu juga sebaliknya, anak yang tidak menyenangi suatu mata pelajaran biasanya tidak atau kurang berhasil mempelajari mata pelajaran tersebut. Karenanya, tugas utama yang sangat menentukan bagi seorang guru adalah bagaimana membantu siswanya sehingga mereka dapat mempelajari setiap materi dengan baik. Yang perlu mendapatkan perhatian juga, hukuman yang diberikan seorang guru dapat menyebabkan siswanya lebih giat belajar, namun dapat juga menyebabkan mereka tidak menyukai guru mata pelajaran tersebut. Dapat juga terjadi, si siswa lalu membenci sama sekali mata pelajaran yang diasuh guru tersebut. Kalau hal seperti ini yang terjadi, tentunya akan sangat merugikan si siswa tersebut.
Peran guru memang sangat menentukan. Seorang siswa yang pada hari kemarinnya hanya mampu mengerjakan 3 dari 10 soal dengan benar, lalu dua hari kemudian ia hanya mampu mengerjakan 4 dari 10 soal dengan benar, gurunya harus menghargai kemajuan tersebut. Guru hendaknya jangan hanya melihat hasilnya saja, namun hendaknya menghargai usaha kerasnya. Dengan cara seperti ini, diharapkan si siswa akan lebih berusaha lagi. Intinya, tindakan seorang guru dapat mempengaruhi perasaan dan emosi siswanya. Tindakan tersebut dapat menjadikan seorang siswa menjadi lebih baik, namun dapat juga menjadikan seorang siswa menjadi tidak mau lagi untuk belajar suatu mata pelajaran.
4. Faktor Intelektual
Faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa ini berkait dengan kurang sempurna atau kurang normalnya tingkat kecerdasan siswa.
Ketika sedang belajar matematika atau IPA, ada siswa SD yang tidak dapat menentukan hasil 1/2 + 1/3, (–5) + 9, ataupun 1 : ½. Siswa seperti itu, tentunya akan mengalami kesulitan karena materi terebut menjadi pengetahuan prasyarat untuk mempelajari matematika ataupun IPA SD. Untuk menghindari hal tersebut, Bapak atau Ibu Guru hendaknya mengecek dan membantu siswanya menguasai pengetahuan prasyarat tersebut sehingga mereka dapat mempelajari materi baru dengan lebih baik.
5. Faktor Kependidikan
Faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa ini berkait dengan belum mantapnya lembaga pendidikan secara umum. Guru yang selalu meremehkan siswa, guru yang tidak bisa memotivasi siswa untuk belajar lebih giat, guru yang membiarkan siswanya melakukan hal-hal yang salah, guru yang tidak pernah memeriksa pekerjaan siswa, sekolah yang membiarkan para siswa bolos tanpa ada sanksi tertentu, adalah contoh dari faktor-faktor penyebab kesulitan dan pada akhirnya akan menyebabkan ketidak berhasilan siswa tersebut. Berdasar penjelasan di atas, Bapak dan Ibu Guru sudah seharusnya menyadari akan adanya beberapa siswa yang mengalami kesulitan atau kurang berhasil dalam proses pembelajarannya.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor tertentu, sehingga mereka tidak dapat belajar dan kurang berusaha sesuai dengan kekuatan mereka. Idealnya, setiap guru harus berusaha dengan sekuat tenaga untuk membantu siswanya keluar dari setiap kesulitan yang menghimpitnya. Namun hal yang perlu diingat, penyebab kesulitan itu dapat berbeda-beda.
Sebagai contoh, siswa A yang memiliki kesulitan karena penglihatan atau pendengaran yang kurang sempurna hanya dapat dibantu dengan alat optik atau alat elektronik tertentu dan mereka diharuskan duduk di bangku depan. Namun para siswa yang mengalami kesulitan belajar karena faktor lingkungan dan faktor emosi tidak memerlukan kacamata seperti yang dibutuhkan siswa A namun mereka membutuhkan bantuan dan motivasi lebih dari gurunya. Pengalaman sebagai guru telah menunjukkan bahwa ada siswa yang sering membuat ulah di kelas dengan maksud agar diperhatikan guru dan temannya. Setelah diselidiki ternyata ia kurang mendapat perhatian orang tuanya. Untuk anak seperti ini, sudah seharusnya para guru lebih memberikan perhatian dan kasih sayang. Sekali lagi, kesabaran, ketekunan dan ketelatenan para guru sangat diharapkan di dalam menangani siswa yang mengalami kesulitan belajar.
Guru dapat menyarankan orang tua siswa tertentu untuk memberi tambahan pelajaran khusus di sore hari untuk siswa yang lamban. Yang lebih penting dan sangat menentukan adalah peran guru pemandu, kepala sekolah, pengawas maupun Kepala Kantor Depdiknas di dalam menangani kesulitan belajar siswa yang disebabkan oleh faktor-faktor kependidikan. Pada akhirnya penulis meyakini bahwa pengetahuan tentang faktor-faktor penyebab kesulitan belajar ini akan sangat bermanfaat bagi Bapak dan Ibu Guru. Dengan membaca tulisan ini, diharapkan para guru akan mengetahui, selanjutnya dapat menggunakan pengetahuan tersebut dalam PBM terutama ketika ia sedang mendiagnosis kesulitan belajar siswa. Pada akhirnya, mudah-mudahan usaha setiap jajaran Depdiknas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa akan berhasil dengan gemilang.
Daftar Pustaka
Cooney, T.J.,
Rabu, 24 Maret 2010
Mengajar Matematika Ala Jepang
Caranya : Kertas berukuran A4 dilipat memanjang sebanyak dua kali, kemudian digunting mengikuti lipatannya sehingga menjadi 4 potongan kertas memanjang. Selanjutnya kertas pertama dilipat melebar 1 kali lalu digunting. Jadi, dengan melipat 1 kali dan menggunting 1 kali, akan dihasilkan 2 potongan kertas baru. Bagaimana kalau dilipat 2 kali, kemudian gunting di lipatan yang terakhir ? Berapa potongan kertas baru yang akan dihasilkan ? Yup, hasilnya 3 potongan kertas baru. Jadi sudah terbentuk deret bilangan 0, 2, 3. Selanjutnya kalau dilipat 3 kali lalu digunting, berapa potongan kertas yang akan dihasilkan ? Sebelum mempraktekkannya, Pak Guru terlebih dahulu menanyai para siswa. Sebagian besar siswa menjawab 5, sebagian yang lain menjawab 6. Mengapa menjawab 5, mengapa menjawab 6, semuanya diminta untuk menjelaskan alasannya.
2. wakaru ko (anak harus mengerti)
3. dekiru ko (anak harus bisa)
Melalui model pembelajaran seperti itu, kita dapat melihat bagaimana anak-anak di Jepang diajari untuk menganalisa sebuah permasalahan, atau menemukan pemecahannya, tanpa dijejali dengan rumus itu rumus ini. Mereka baru diajari rumus /teori belakangan, setelah mereka paham asal-usul sebuah teori, dan bisa menggunakannya di kehidupan sehari-hari. Mereka juga tidak diajari banyak hal, sedikit saja yang penting mengerti.
Oleh karenanya guru-guru Jepang apabila berkunjung di SD sangat kaget ketika mengetahui anak-anak SD kelas 1 di Indonesia sudah belajar bilangan sampai 100. Pasti mereka akan kaget lagi kalau dikatakan bahwa di Indonesia sudah belajar perkalian hingga 10 x 10 waktu di TK. Maksudnya, menghafalnya, tanpa mengerti kenapa 1 x 1 = 1. Contoh sederhananya: apa ya bedanya 1×3 dan 3×1? Awalnya anak-anak menjawab sama aja; hasilnya 3. Benar, memang sama hasilnya. Tapi, hati-hati konsepnya berbeda. Kenapa? siapa yang pernah sakit? Setiap manusia pasti pernah sakit. Kalau sudah sakit, pergi ke dokter. Nah, coba perhatikan.. .. dalam kotak pembungkus obat berapa dosis yang ditulis dokter? 1×3 atau 3×1 (jika harus minum 3 kali)? Pasti dokter menuliskannya 3×1, jarang atau bahkan tidak ada yang 1×3. Alasannya, jika kita harus minum obat 3 kali jika dokter nulis 3×1 berarti minumlah 1 table pagi, 1 tablet siang, dan 1 tablet malam (atau bisa ganti dengan sendok teh untuk obat sirup). coba kalau dokter nulisnya 1×3, maka sang pasing disuruh minum obat 3 tablet sekaligus (3 tablet pagi saja) bisa pingsan! Itulah bedanya 1×3 dan 3×1 meski hasilnya sama. Sumber: http://ndal.wordpress.com. (Penulis : Edi Mulyono, S. Pd Guru Kelas 4 SD 3 Megawon)
Selasa, 23 Maret 2010
Mengajar Perkalian dengan Menggunakan Stik Es Krim
Membangun pemahaman perkalian yang selama ini sering dilakukan adalah dengan cara menyuruh anak menghafal, berdiri di muka kelas. Bagi mereka yang tidak hafal mereka disuruh berdiri di sudut kelas sampai pelajaran usai. Pembelajaran seperti ini di samping tidak menyenangkan, juga anak tidak mengetahui makna yang sebenarnya dari perkalian itu sendiri. Sekarang berbeda, meskipun penulis baru sekilas mengenal metode DUGEM (Dunia Gembira), namun dapat merasakan bedanya terutama dengan suasana kelas yang menjadi lebih menyenangkan dan matematika bukan lagi mata pelajaran yang menakutkan.
Berikut ini pengalaman penulis mengajar perkalian dengan menggunakan Stik Es Krim sebagai media pembelajaran. Alat ini sangat sederhana dan banyak ditemukan di sekitar anak. Apalagi anak-anak sekarang terserang demam Upin dan Ipin (tokoh film kartun produksi negara
Langkah pembelajaran sebagai berikut: Anak diminta membawa 10 sampai 20 Stik Es Krim, kemudian membawanya ke sekolah. Kegiatan ini boleh dilakukan berpasangan, berkelompok atau individu. Sebelum kita memulai pelajaran, anak disuruh mengamati benda yang ada di sekitar, misalnya kursi dan meja. Tanyakan berapa kaki meja atau kursi, anak akan menghitung dan menjawab 4 (empat); kemudian ditanya kalau dua atau tiga kursi berapa jumlah kakinya?. Kita bisa pindah ke obyek yang lain, misalnya kaki anak ada berapa?, bila 4 anak atau 5 anak berapa jumlah kakinya, dan seterusnya. Kegiatan ini membantu anak memahami konsep dasar perkalian sebagai penjumlahan berulang.
Berikut anak disuruh mengeluarkan Stik Es Krim yang sudah mereka bawa, kemudian anak diminta menyusun Stik Es Krim tiga-tiga ke bawah sebanyak empat susun. Tanyakan ada berapa susun atau berapa kali tiganya, kemudian berapa jumlahnya. Lakukan ini berulang-ulang dengan jumlah yang berbeda, misalnya dua-dua ke bawah sebanyak
Mengatasi Rasa Takut Pada Matematika
Rasa takut terhadap pelajaran matematika sering kali menghinggapi perasaan para siswa di sekolah mulai dari tingkat SD sampai dengan SMA. Padahal, matematika itu bukan pelajaran yang sulit, bahkan cenderung mengasyikkan. Hal ini dituturkan oleh Ibu Sri Tani Guru Kelas V SD 3 Megawon di sela-sela acara istirahat jam pertama di Ruang Guru. Beliau menegaskan bahwa setiap orang bisa bermatematika. Masalah fobia matematika kerap dianggap sangat krusial jika dibandingkan bidang studi lainnya karena sejak SD bahkan TK, siswa sudah diajarkan matematika.
Menurut Ibu Sri Tani, penyebab fobia matematika di antaranya mencakup penekanan belebihan pada penghafalan semata, penekanan pada kecepatan atau berhitung, pengajaran otoriter, kurangnya variasi dalam proses belajar-mengajar matematika, dan penekanan berlebihan pada prestasi individu. Karena itu, untuk mengatasi fobia matematika, peranan guru sangat penting. Parahnya, guru-guru matematika yang ada di
"Ini yang salah, guru-guru selalu menganggap bahwa orang yang tidak bisa berhitung, tidak bisa matematika. Padahal, semua orang bisa matematika. Jadi salah jika orang yang berbakat dalam matematika adalah orang yang terampil berhitung," katanya. Karena begitu pentingnya peranan guru dalam mengatasi fobia matematika, maka pengajaran matematika pun harus dirubah. Jika sebelumnya, pengajaran matematika berfokus pada hitungan aritmatika belaka maka saat ini, kata Ibu Sri Tani, guru-guru harus meningkatkan kemampuan siswa dalam bernalar. Selain itu, pengajaran matematika juga harus berfokus kepada anak. Dijelaskan Ibu Sri Tani, hal ini dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan alat peraga konkret sederhana untuk mengenalkan gagasan matematika dan menghubungkan gagasan tersebut dengan kehidupan sehari-hari.
Ditegaskannya, bahwa matematika bukan hanya sekadar aktivitas penjumlahan, pengurangan, pembagian, dan perkalian karena bermatematika di zaman sekarang harus aplikatif dengan kebutuhan hidup modern. Karena itu, secara content, matematika bukan lagi sekadar arithmetic tetapi beragam jenis topik dan persoalan yang lekat dengan kehidupan sehari-hari. Dari aspek psikologi, menurut Ibu Sri Lestari Kepala SD 3 Megawon, peranan orang tua pun sangat dibutuhkan untuk mengatasi fobia matematika itu.
Menurutnya, mengajar matematika bukan sekadar mengenal angka dan menghapalnya namun bagaimana anak memahami makna bermatematika. Konsekuensinya, kata Ibu Sri Lestari, orang tua harus memberi kesempatan anak untuk bereksplorasi, observasi dalam keadaan rileks.
Pelaksanaan Try Out UASBN Tahap Ke 3
Senin, 22 Maret 2010
Ketika Dakon Menjadi Alat Peraga Matematika
Masih Banyak Guru yang Menggunakan Metode Ceramah
"Tanpa persiapan yang matang, guru berdiri di depan kelas hanya sekadar untuk melaksanakan tugasnya saja. Sedangkan murid menerima pelajaran tanpa memberi respon, akibatnya pembelajaran berlangsung hanya satu arah," katanya disela-sela acara istirahat pertama setelah pelajaran jam pertama dan kedua selesai.. Lebih lanjut Pak Yahya mengatakan, sudah menjadi kewajiban bagi setiap guru untuk merubah pembelajaran satu arah itu dengan terus belajar, melahirkan ide-ide kreatif dan inovatif sehingga menjadi guru yang profesional. Dalam kesempatan itu, ia juga menyampaikan dukungan kepada Universitas Terbuka yang telah membantu pemerintah Indonesia, khususnya dalam melatih tenaga pendidik menjadi guru yang profesional sekaligus guru yang mampu menjadi pelatih bagi siswanya.
Alat Peraga Matematika : Garis Bilangan Bulat
Bahan-bahan yang dibutuhkan :
- Kayu/papan
- Bambu
- Kertas Karton/Manila Berwarna
- Busa/Styrofoam
- Lem/perekat
- Spidol
- Kayu dipotong memanjang
- Buat potongan karton seukuran permukaan kayu, kemudian buat tulisan bilangan bulat diatasnya (misalnya -10 sampai dengan 10)
- Tempelkan tulisan bilangan bulat pada kayu menggunakan lem/perekat
- Siapkan dua potongan bambu, yang digunakan sebagai dudukan kayu bertuliskan bilangan bulat
- Hiasi bambu dengan menggunakan kertas warna, beri tulisan pada batang bambu pertama “Negatif” dan bambu kedua “Positif”
- Bentuk busa/styrofoam menjadi bentuk mobil atau orang-orangan lalu tempelkan pula tanda panah dari kertas ke badan mobil atau orang-orangan
- Setiap akan melakukan peragaan, posisi awal aktivitas peragaan harus selalu dimulai dari bilangan atau skala 0 (nol).
- Jika bilangan pertama dalam suatu operasi hitung bertanda positif, maka ujung anak panah diarahkan ke bilangan positif dan bergerak maju dengan skala yang besarnya sama dengan bilangan pertama sedangkan pangkal anak panahnya mengarah pada bilangan negatifnya. Sebaliknya jika bilangan pertamanya bertanda negatif, maka ujung anak panahnya diarahkan ke bilangan negatif dan gerakkan dengan skala yang besarnya sama dengan bilangan pertama sedangkan pangkal anak panahnya mengarah ke bilangan positif.
- Jika anak panah dilangkahkan maju, maka dalam prinsip operasi hitung istilah maju dapat diartikan sebagai penjumlahan. Sebaliknya, jika anak panah dilangkahkan mundur maka istilah mundur dapat diartikan sebagai pengurangan. Namun demikian, gerakan maju atau mundurnya anak panah tergantung pada bilangan penambah atau pengurangnya.
Adapted from http://apakabarpsbg.wordpress.com/
Minggu, 21 Maret 2010
Pembelajaran Seni Tari
Sabtu, 20 Maret 2010
Bagaimana Cara Mengajar Matematika yang Efektif?
Oleh karena itu, kita, selaku guru yang mengajar, tak boleh menganggap kemampuan mereka sama dengan kemampuan kita. Maksudnya, jangan menganggap pemahaman mereka, pada saat kita mengajar mereka, sama dengan pemahaman kita yang sudah belajar sebelumnya. Kebanyakan dari mereka (siswa) perlu waktu yang relatif lebih lama dibanding kita yang sudah belajar, yang sudah mengenal materi sebelumnya, yang sudah pengalaman sebelumnya, yang sudah mahir sebelumnya, dan yang sudah pandai sebelumnya.
Contributed by Al Jupri - http://mathematicse.wordpress.com