Bapak Edi Mulyono (Guru Kelas IV SD 3 Megawon) yang pernah 5 tahun mengajar di Kabupaten Batang Jawa Tengah suatu saat bercerita berbagi pengalaman kepada guru-guru senior SD 3 Megawon. Ceritanya begini..!. Setiap kali digelar pelajaran Matematika, para siswa kelas II, III, dan IV SD Negeri Manggis, Desa Manggis, Kecamatan Bandar (sekarang masuk wilayah Kecamatan Tulis_red), Kabupaten Batang, Jawa Tengah, selalu siap di kelas. Bahkan mereka antusias. Mereka tak lagi takut dengan pelajaran Matematika terutama siswa kelas IV termasuk pada saat Pak Edi akan menyampaikan konsep pada kompetensi dasar menentukan faktor persekutuan terbesar (FPB) dan soal kelipatan persekutuan terkecil (KPK). Bagian konsep ini memang menuntut kemampuan seseorang dalam membayangkan sesuatu.
Oleh Pak Edi, pembelajaran itudibuat sedemikian rupa agar lebih menyenangkan. Akhirnya dibikinlah pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran DUGEM (dunia gembira) alias metode permainan. “Pokoknya, yang kalah harus menggendong yang menang ya!, kata Caswadi kepada Rima Sari. Setelah suit, kedua siswi Kelas IV SD Negeri Manggis itupun segera memainkan alat permainan tradisional yang disebut dakon itu. Alat itu terbuat dari tripleks sepanjang sekitar 100 sentimeter dan lebar 25 sentimeter. Di badan tripleks itu terdapat 75 lubang kecil yang terbagi menjadi tiga baris menjadi 25 lubang pada setiap baris. Di atas setiap lubang di barisan teratas dituliskan angka 1- 25.
Adapun di bawah baris terakhir terdapat tiga lubang besar untuk wadah biji dakon yang biasanya dari biji pohon asem, sawo, dan batu kerikil atau kapur. Lubang-lubang itu terbuat dari bekas wadah agar-agar atau jeli, jajanan/penganan anak-anak. Kami menyebut alat peraga itu sebagai dakon FPB dan KPK lantaran alat itu bisa digunakan untuk menghitung bilangan-bilangan itu tanpa membuat deret dan pohon faktor, kata Pak guru. Ia mengatakan, alat peraga itu dibuat oleh Bapak Suroto, salah seorang pengajar senior di SD Manggis (sekarang beliau menjabat sebagai Kepala Desa Siberuk Kecamatan Tulis Kabupaten Batang).
Alat itu bisa dibuat sesuai kebutuhan bilangan yang mau dihitung dengan cara menambah lubang, baik yang memanjang maupun yang membujur. Cara memainkannya adalah dengan meletakkan biji-biji dakon satu per satu di lubang dakon sesuai dengan kelipatan atau perkalian faktor. Syaratnya, siswa harus hafal kelipatan dan perkalian yang sudah diajarkan di kelas IV. Misalnya, untuk menentukan KPK 2 dan 3, siswa harus meletakkan biji dakon sejumlah kelipatan 2 di lubang-lubang baris pertama sesuai nomor lubang dakon dan kelipatan dua, yaitu 2, 4, 6, 8, dan seterusnya.
Saat menjabarkan kelipatan 3, siswa menaruh biji dakon di lubang-lubang baris kedua sesuai nomor lubang dakon dan kelipatan 3, yaitu 3, 6, 9, 12, dan seterusnya. Dari baris lubang pertama dan kedua, siswa bisa menentukan KPK dengan melihat biji dakon yang letaknya satu kolom atau berada pada nomor lubang dakon yang sama’ katanya. Para siswa mengaku terbantu dalam memahami pelajaran itu. Namun, alat itu masih terbatas lantaran tidak bisa untuk menghitung FPB dan KPK lebih dari 50. Kalaupun bisa, dakon harus dibuat panjang dengan 50 lubang. Tangan kami jadi tak sampai nanti, kata Caswadi sambil tersenyum. Apa pun kekurangannya, setidaknya Bapak Suroto telah membuat inovasi demi kemajuan anak didik. (Ladang Ilmu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan isi komentar, bebas tapi sopan!