TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA. KOMENTAR ANDA MERUPAKAN KEHORMATAN BAGI KAMI.
Komentar, masukan, ide, dan gagasan Anda sangat kami butuhkan di sini. Demi majunya kegiatan belajar mengajar SD kami. Utamanya untuk meningkatkan prestasi belajar para peserta didik kami. Salam untuk orang-orang yang dekat di hati Anda. Mari bersama kita tingkatkan mutu pendidikan di Indonesia!

Sabtu, 27 Maret 2010

Pembelajaran Bilangan Prima

Bagi bapak atau ibu guru yang mengalami kesulitan dalam mengajarkan konsep bilangan prima kepada para peserta didik, di bawah ini akan kami tampilkan sebuah video pembelajaran yang berisi tentang pembelajaran bilangan prima di sekolah dasar. Video ini merupakan produksi dari PUSTEKKOM yang beralamatkan di Jalan Cendrawasih, Ciputat Km 15 Jakarta. Semoga video ini menjadi masukan atau bahkan menjadi solusi dalam mengajarkan matematika terutama tentang bilangan prima. Jika ingin kontak langsung dengan PUSTEKKOM silahkan Klik Di Sini.

Alat Peraga Replika Mesin Uap


Alat Peraga Murah (APM) Replika Mesin Uap ini diproduksi oleh PSBG Borobudur, Kecamatan Banjar Rejo, Kabupaten Blora, Propinsi Jawa Tengah. Alat peraga ini dapat dipergunakan untuk menjelaskan perubahan energi kimia menjadi energi panas, menjadi energi uap lalu berubah menjadi energi gerak. Dapat dimanfaatkan pula untuk memvisualisasikan prinsip kerja dari PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap), prinsip kerja kereta api uap dan cara kerja penyulingan. Bahan yang dibutuhkan untuk membuat alat peraga ini meliput
Kaleng roti bekas yang berbentuk persegi panjang, kaleng baigon bekas, kaleng cat bekas sedang dan kecil, 3 kaleng obat padi bekas, 2 kaleng bedak purol bekas, pipa tembaga kecil, pipa besi berdiameter 1,5 cm, kaleng sprite bekas, kawat jeruji sepeda , lem besi/plastik stil, 2 cup pentil sepeda bekas, plastik, karet gelang, korek api, air, spirtus dan cat. Sedangkan alat yang digunakan adalah gunting, palu, tong, gergaji besi.

Cara pembuatan :

  1. Tempelkan dua kaleng bedak purol bekas diatas kaleng roti bekas dengan lem plastik stil.
  2. Buatlah lubang dengan paku besar selebar pipa besi yang berdiameter 1,5cm pada kaleng baigon bekas, kemudian tempelkan pipa besi yang berdiameter 1,5 cm dan panjangnya 5 – 10 cm pada kaleng baigon bekas
  3. Tempelkan kaleng baigon bekas diatas dua kaleng bedak purol bekas
  4. Buatlah lubang kecil pada kaleng baigon bekas, masukkan pipa tembaga kecil dan lem dengan plastik stil sampai rapat
  5. Buatlah baling-baling dari kaleng sprite bekas, berilah penyangga kawat/jeruji sepeda dan letakkan baling-baling tersebut diatas kaleng cat bekas kecil
  6. Buatlah kawat penyangga yang di lem dengan kaleng cat bekas ukuran sedang
  7. Buatlah 2 sentir yang berasal dari kaleng obat padi bekas yang diisi dengan spirtus
  8. Sebelum api dinyalakan, isilah air ke dalam kaleng baigon bekas secukupnya
  9. Tutuplah pipa dengan plastik dan ikatlah dengan karet gelang
  10. Replika mesin uap dioperasikan


Cara penggunaannya adalah Mengisi air secukupnya pada tabung/kaleng yang atas dan diberi sumber energi panas menggunakan sentir/lilin (lampu minyak) sehingga air akan mendidih dan menguap lewat pipa tembaga kecil dan menyemprot ke baling-baling sehingga baling-baling dapat bergerak.

Tim Produksi :

LRC (Learning Resource Coordinator) : Drs. Sujito

Ketua PSBG : Karyono

PBS 1 : Purwanto, S.Pd

PBS 2 : Sri Suwarni, S.Pd

Untuk lebih jelasnya Klik di sini

Jumat, 26 Maret 2010

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia



Sudah 65 tahun negara kita merdeka. Tetapi kita masih ketinggalan jauh dengan negara lain? Mengapa ya? Padahal pada awal kemerdekaan, bapak Presiden Soekarno berharap banyak agar bangsa ini bisa maju dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Di bawah ini akan kami tampilkan video pembacaan naskah proklamasi asli dengan suara Presiden Soekarno yang khas. Semoga dapat membangkitkan semangat nasionalisme dan patriotisme kita. Sehingga pada akhirnya bangsa kita mampu menjadi bangsa yang berdaulat dan bermartabat serta dapat sejajar dengan negara lain

Faktor-Faktor Penyebab Kesulitan Belajar pada Anak


Tidak seperti biasanya, tiba-tiba saja ada siswa yang mendapat nilai matematika yang jauh di bawah nilai rata-rata teman sekelasnya. Orang tua yang tidak menerima kenyataan ini lalu memeriksa pekerjaan anaknya. Mereka kaget ketika mengetahui sang guru menyalahkan beberapa pekerjaan anaknya yang benar seperti: 2,3 + 3,01 = 5,31 dan ½ + 1/3 = 5/6. Ternyata, setelah diselidiki lebih lanjut oleh orang tuanya, si anak salah menulis soal karena ia memiliki sedikit kekurangan pada organ matanya. Yang seharusnya 3,91 ditulisnya 3,01 dan 1/5 ditulis 1/3. Sang guru menyalahkan pekerjaan tersebut karena ia hanya terpaku pada kunci jawaban.

Setelah sang anak diberi kacamata, ia tidak salah lagi menulis soal dan nilai matematikanya menjadi baik. Contoh ini menunjukkan bahwa penglihatan yang kurang baik dapat menjadi salah satu penyebab kesulitan belajar siswa. Dalam hal ini tulisan maupun peragaan guru kurang bisa dilihat sehingga informasi guru tidak sampai dengan sempurna. Setiap guru mendambakan para siswanya dapat belajar dengan baik. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Sehingga guru mungkin pernah menemui atau mengalami beberapa siswa yang selalu membikin ulah, selalu mengacau, rendah diri, malas, lambat menghafal, ataupun membenci mata pelajaran IPA, Matematika, ataupun Bahasa Inggris.

Di sisi lain ada siswa yang biasa ceria tetapi dengan tiba-tiba saja menjadi murung dan malas belajar. Pertanyaan yang mungkin muncul adalah, mengapa hal seperti itu dapat terjadi? Kenyataan-kenyataan ini menunjukkan bahwa siswa dapat mengalami hal-hal yang menyebabkan ia tidak dapat belajar atau melakukan kegiatan selama proses pembelajaran sedang berlangsung. Mungkin juga, si siswa dapat belajar atau melakukan kegiatan selama proses pembelajaran sedang berlangsung, namun tidak maksimal.

Faktor penyebabnya dapat berasal dari dalam diri si anak sendiri dan dapat juga dari luar. Pada contoh pertama, seorang anak mengalami hambatan belajar yang disebabkan oleh faktor penglihatan yang kurang baik, sedangkan pada contoh kedua, hambatan belajar tersebut lebih disebabkan oleh

faktor kejiwaan pada diri anak tersbut. Para ahli seperti Cooney, Davis & Henderson (1975) telah mengidentifikasikan beberapa faktor penyebab kesulitan tersebut, di antaranya:


1. Faktor Fisiologis

Faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa ini berkait dengan kurang berfungsinya otak, susunan syaraf ataupun bagian-bagian tubuh lain. Para guru harus menyadari bahwa hal yang paling berperan pada waktu belajar adalah kesiapan otak dan sistem syaraf dalam menerima, memroses, menyimpan, ataupun memunculkan kembali informasi yang sudah disimpan. Kalau ada bagian yang tidak beres pada bagian tertentu dari otak seorang siswa, maka dengan sendirinya si siswa akan mengalami kesulitan belajar. Bayangkan kalau sistem syaraf atau otak anak kita karena sesuatu dan lain hal kurang berfungsi secara sempurna.

Akibatnya ia akan mengalami hambatan ketika belajar. Di samping itu, siswa yang sakit-sakitan, tidak makan pagi, kurang baik pendengaran, penglihatan ataupun pengucapannya sedikit banyak akan menghadapi kesulitan belajar. Untuk menghindari hal tersebut dan untuk membantu siswanya, seorang guru hendaknya memperhatikan hal-hal yang berkait dengan kesulitan siswa ini. Seorang siswa dengan pendengaran ataupun penglihatan yang kurang baik, sebaiknya menempati tempat di bagian depan. Untuk para orang tua, terutama ibu, makanan selama masa kehamilan akan sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik putra-putrinya . Makanan yang dapat membantu pertumbuhan otak dan sistem syaraf bayi yang masih di dalam kandungan haruslah menjadi perhatian para orang tua.


2. Faktor Sosial

Merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah jika orang tua dan masyarakat sekeliling sedikit banyak akan berpengaruh terhadap kegiatan belajar dan kecerdasan siswa sebagaimana ada yang menyatakan bahwa sekolah adalah cerminan masyarakat dan anak adalah gambaran orang tuanya. Oleh karena itu ada beberapa faktor penyebab kesulitan belajar yang berkait dengan sikap dan keadaan keluarga serta masyarakat sekeliling yang kurang mendukung siswa tersebut untuk belajar sepenuh hati. Sebagai contoh, orang tua yang sering menyatakan bahwa Bahasa Inggris adalah bahasa setan (karena sulit) akan dapat menurunkan kemauan anaknya untuk belajar bahasa pergaulan internasional itu. Kalau ia tidak menguasai bahan tersebut ia akan mengatakan “ Ah Bapak saya tidak bisa juga.” Untuk itu, setiap guru tidak seharusnya menyatakan sulitnya mata pelajaran tertentu di depan siswanya. Tetangga yang mengatakan sekolah tidak penting karena banyak sarjana menganggur, masyarakat yang selalu minum-minuman keras dan melawan hukum, orang tua yang selalu marah, nonton TV setiap saat, tidak terbuka ataupun kurang menyayangi anaknya dengan sepenuh hati dapat merupakan contoh dari beberapa faktor sosial yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa.

Intinya, lingkungan di sekitar siswa harus dapat membantu mereka untuk belajar semaksimal mungkin selama mereka belajar di sekolah. Dengan cara seperti ini, lingkungan dan sekolah akan membantu para siswa, harapan bangsa ini untuk berkembang dan bertumbuh menjadi lebih cerdas. Siswa dengan kemampuan cukup seharusnya dapat dikembangkan menjadi siswa berkemampuan baik, yang berkemampuan kurang dapat dikembangkan menjadi berkemampuan cukup. Sekali lagi, orang tua, guru, dan masyarakat, secara sengaja atau tidak sengaja, dapat menyebabkan kesulitan bagi siswa. Karenanya, peran orang tua dan guru dalam membentengi para siswa dari pengaruh negatif masyarakat sekitar, di samping perannya dalam memotivasi para siswa untuk tetap belajar menjadi sangat menentukan.


3. Faktor Kejiwaan

Faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa ini berkait dengan kurang mendukungnya perasaan hati (emosi) siswa unutuk belajar secara sungguh-sungguh. Sebagai contoh, ada siswa yang tidak suka mata pelajaran tertentu karena ia selalu gagal mempelajari mata pelajaran itu. Jika hal ini terjadi, siswa tersebut akan mengalami kesulitan belajar yang sangat berat. Hal ini merupakan contoh dari faktor emosi yang menyebabkan kesulitan belajar. Contoh lain adalah siswa yang rendah diri, siswa yang ditinggalkan orang yang paling disayangi dan menjadikannya sedih berkepanjangan akan mempengaruhi proses belajar dan dapat menjadi faktor penyebab kesulitan belajarnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang dapat mempelajari suatu mata pelajaran dengan baik akan menyenangi mata pelajaran tersebut. Begitu juga sebaliknya, anak yang tidak menyenangi suatu mata pelajaran biasanya tidak atau kurang berhasil mempelajari mata pelajaran tersebut. Karenanya, tugas utama yang sangat menentukan bagi seorang guru adalah bagaimana membantu siswanya sehingga mereka dapat mempelajari setiap materi dengan baik. Yang perlu mendapatkan perhatian juga, hukuman yang diberikan seorang guru dapat menyebabkan siswanya lebih giat belajar, namun dapat juga menyebabkan mereka tidak menyukai guru mata pelajaran tersebut. Dapat juga terjadi, si siswa lalu membenci sama sekali mata pelajaran yang diasuh guru tersebut. Kalau hal seperti ini yang terjadi, tentunya akan sangat merugikan si siswa tersebut.

Peran guru memang sangat menentukan. Seorang siswa yang pada hari kemarinnya hanya mampu mengerjakan 3 dari 10 soal dengan benar, lalu dua hari kemudian ia hanya mampu mengerjakan 4 dari 10 soal dengan benar, gurunya harus menghargai kemajuan tersebut. Guru hendaknya jangan hanya melihat hasilnya saja, namun hendaknya menghargai usaha kerasnya. Dengan cara seperti ini, diharapkan si siswa akan lebih berusaha lagi. Intinya, tindakan seorang guru dapat mempengaruhi perasaan dan emosi siswanya. Tindakan tersebut dapat menjadikan seorang siswa menjadi lebih baik, namun dapat juga menjadikan seorang siswa menjadi tidak mau lagi untuk belajar suatu mata pelajaran.


4. Faktor Intelektual

Faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa ini berkait dengan kurang sempurna atau kurang normalnya tingkat kecerdasan siswa. Para guru harus meyakini bahwa setiap siswa mempunyai tingkat kecerdasan berbeda. Ada siswa yang sangat sulit menghafal sesuatu, ada yang sangat lamban menguasai materi tertentu, ada yang tidak memiliki pengetahuan prasyarat dan juga ada yang sangat sulit membayangkan dan bernalar. Hal-hal yang disebutkan tadi dapat menjadi faktor penyebab kesulitan belajar pada diri siswa tersebut. Di samping itu, hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah para siswa yang tidak memiliki pengetahuan prasyarat.

Ketika sedang belajar matematika atau IPA, ada siswa SD yang tidak dapat menentukan hasil 1/2 + 1/3, (–5) + 9, ataupun 1 : ½. Siswa seperti itu, tentunya akan mengalami kesulitan karena materi terebut menjadi pengetahuan prasyarat untuk mempelajari matematika ataupun IPA SD. Untuk menghindari hal tersebut, Bapak atau Ibu Guru hendaknya mengecek dan membantu siswanya menguasai pengetahuan prasyarat tersebut sehingga mereka dapat mempelajari materi baru dengan lebih baik.


5. Faktor Kependidikan

Faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa ini berkait dengan belum mantapnya lembaga pendidikan secara umum. Guru yang selalu meremehkan siswa, guru yang tidak bisa memotivasi siswa untuk belajar lebih giat, guru yang membiarkan siswanya melakukan hal-hal yang salah, guru yang tidak pernah memeriksa pekerjaan siswa, sekolah yang membiarkan para siswa bolos tanpa ada sanksi tertentu, adalah contoh dari faktor-faktor penyebab kesulitan dan pada akhirnya akan menyebabkan ketidak berhasilan siswa tersebut. Berdasar penjelasan di atas, Bapak dan Ibu Guru sudah seharusnya menyadari akan adanya beberapa siswa yang mengalami kesulitan atau kurang berhasil dalam proses pembelajarannya.

Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor tertentu, sehingga mereka tidak dapat belajar dan kurang berusaha sesuai dengan kekuatan mereka. Idealnya, setiap guru harus berusaha dengan sekuat tenaga untuk membantu siswanya keluar dari setiap kesulitan yang menghimpitnya. Namun hal yang perlu diingat, penyebab kesulitan itu dapat berbeda-beda. Ada yang karena faktor emosi seperti ditinggal saudara kandung tersayang ataupun karena faktor fisiologis seperti pendengaran yang kurang. Untuk itu, para guru harus mampu mengidentifikasi kesulitan dan penyebabnya lebih dahulu sebelum berusaha untuk mencarikan jalan pemecahannya. Pemecahan masalah kesulitan belajar siswa sangat tergantung pada keberhasilan menentukan penyebab kesulitan tersebut.

Sebagai contoh, siswa A yang memiliki kesulitan karena penglihatan atau pendengaran yang kurang sempurna hanya dapat dibantu dengan alat optik atau alat elektronik tertentu dan mereka diharuskan duduk di bangku depan. Namun para siswa yang mengalami kesulitan belajar karena faktor lingkungan dan faktor emosi tidak memerlukan kacamata seperti yang dibutuhkan siswa A namun mereka membutuhkan bantuan dan motivasi lebih dari gurunya. Pengalaman sebagai guru telah menunjukkan bahwa ada siswa yang sering membuat ulah di kelas dengan maksud agar diperhatikan guru dan temannya. Setelah diselidiki ternyata ia kurang mendapat perhatian orang tuanya. Untuk anak seperti ini, sudah seharusnya para guru lebih memberikan perhatian dan kasih sayang. Sekali lagi, kesabaran, ketekunan dan ketelatenan para guru sangat diharapkan di dalam menangani siswa yang mengalami kesulitan belajar.

Guru dapat menyarankan orang tua siswa tertentu untuk memberi tambahan pelajaran khusus di sore hari untuk siswa yang lamban. Yang lebih penting dan sangat menentukan adalah peran guru pemandu, kepala sekolah, pengawas maupun Kepala Kantor Depdiknas di dalam menangani kesulitan belajar siswa yang disebabkan oleh faktor-faktor kependidikan. Pada akhirnya penulis meyakini bahwa pengetahuan tentang faktor-faktor penyebab kesulitan belajar ini akan sangat bermanfaat bagi Bapak dan Ibu Guru. Dengan membaca tulisan ini, diharapkan para guru akan mengetahui, selanjutnya dapat menggunakan pengetahuan tersebut dalam PBM terutama ketika ia sedang mendiagnosis kesulitan belajar siswa. Pada akhirnya, mudah-mudahan usaha setiap jajaran Depdiknas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa akan berhasil dengan gemilang.


Daftar Pustaka

Cooney, T.J., Davis, E.J., Henderson, K.B. (1975). Dynamics of Teaching

Secondary School Mathematics. Boston : Houghton Mifflin Company.

Rabu, 24 Maret 2010

Mengajar Matematika Ala Jepang


Di TV NHK (Nippon Housou Kyoukai) ada acara yang bernama `waku-waku jugyou, watashi no oshiekata` yang kira-kira artinya `kelas yang menyenangkan` , metode mengajar saya` Acara ini menyajikan metode mengajar yang unik para guru di Jepang. yang sering ditampilkan adalah pembelajaran matematika dan sains. Pembelajaran matematika, terutama di SD dan SMP di Jepang sangat menarik, guru-guru selalu menyiapkan bahan belajar yang sangat sederhana, misalnya kertas, gunting, jepitan pakaian, atau bahan lain yg gampang sekali ditemukan. Misalnya seorang guru di SD affiliation Tsukuba University mengajar anak kelas 5 SD bilangan berderet dengan bahan kertas dan gunting. Dengan prinsip `melipat dan menggunting` anak-anak belajar bilangan berderet secara menyenangkan.

Caranya : Kertas berukuran A4 dilipat memanjang sebanyak dua kali, kemudian digunting mengikuti lipatannya sehingga menjadi 4 potongan kertas memanjang. Selanjutnya kertas pertama dilipat melebar 1 kali lalu digunting. Jadi, dengan melipat 1 kali dan menggunting 1 kali, akan dihasilkan 2 potongan kertas baru. Bagaimana kalau dilipat 2 kali, kemudian gunting di lipatan yang terakhir ? Berapa potongan kertas baru yang akan dihasilkan ? Yup, hasilnya 3 potongan kertas baru. Jadi sudah terbentuk deret bilangan 0, 2, 3. Selanjutnya kalau dilipat 3 kali lalu digunting, berapa potongan kertas yang akan dihasilkan ? Sebelum mempraktekkannya, Pak Guru terlebih dahulu menanyai para siswa. Sebagian besar siswa menjawab 5, sebagian yang lain menjawab 6. Mengapa menjawab 5, mengapa menjawab 6, semuanya diminta untuk menjelaskan alasannya.

Papan tulis pun penuh dengan coretan dan ilustrasi anak-anak. Yang menarik guru sama sekali tidak menggurui dengan memberitahukan jawabannya secara langsung, tetapi seakan-akan beliau tidak tahu, dan meminta siswa untuk menjelaskan. Melalui cara ini, saya dapat menangkap bahwa anak-anak Jepang sangat kaya ide. Pepatah `banyak jalan menuju Roma` berlaku di sini. Dan Pak Guru sama sekali tidak pernah mengatakan `salah`, yang dia ucapkan malah kalimat `naruhodo`, yang artinya `Oh, saya baru tahu ! Kalimat ini menurut saya membangkitkan suatu kebanggaan tersendiri bagi seorang anak. Suatu pujian yang bisa diartikan `kamu bisa, nak !` Ada 3 prinsip mengajar guru-guru di Jepang, yaitu
1. tanoshii jugyou (kelas harus menyenangkan)
2. wakaru ko (anak harus mengerti)
3. dekiru ko (anak harus bisa)

Melalui model pembelajaran seperti itu, kita dapat melihat bagaimana anak-anak di Jepang diajari untuk menganalisa sebuah permasalahan, atau menemukan pemecahannya, tanpa dijejali dengan rumus itu rumus ini. Mereka baru diajari rumus /teori belakangan, setelah mereka paham asal-usul sebuah teori, dan bisa menggunakannya di kehidupan sehari-hari. Mereka juga tidak diajari banyak hal, sedikit saja yang penting mengerti.

Oleh karenanya guru-guru Jepang apabila berkunjung di SD sangat kaget ketika mengetahui anak-anak SD kelas 1 di Indonesia sudah belajar bilangan sampai 100. Pasti mereka akan kaget lagi kalau dikatakan bahwa di Indonesia sudah belajar perkalian hingga 10 x 10 waktu di TK. Maksudnya, menghafalnya, tanpa mengerti kenapa 1 x 1 = 1. Contoh sederhananya: apa ya bedanya 1×3 dan 3×1? Awalnya anak-anak menjawab sama aja; hasilnya 3. Benar, memang sama hasilnya. Tapi, hati-hati konsepnya berbeda. Kenapa? siapa yang pernah sakit? Setiap manusia pasti pernah sakit. Kalau sudah sakit, pergi ke dokter. Nah, coba perhatikan.. .. dalam kotak pembungkus obat berapa dosis yang ditulis dokter? 1×3 atau 3×1 (jika harus minum 3 kali)? Pasti dokter menuliskannya 3×1, jarang atau bahkan tidak ada yang 1×3. Alasannya, jika kita harus minum obat 3 kali jika dokter nulis 3×1 berarti minumlah 1 table pagi, 1 tablet siang, dan 1 tablet malam (atau bisa ganti dengan sendok teh untuk obat sirup). coba kalau dokter nulisnya 1×3, maka sang pasing disuruh minum obat 3 tablet sekaligus (3 tablet pagi saja) bisa pingsan! Itulah bedanya 1×3 dan 3×1 meski hasilnya sama. Sumber: http://ndal.wordpress.com. (Penulis : Edi Mulyono, S. Pd Guru Kelas 4 SD 3 Megawon)

Selasa, 23 Maret 2010

Mengajar Perkalian dengan Menggunakan Stik Es Krim


Membangun pemahaman perkalian yang selama ini sering dilakukan adalah dengan cara menyuruh anak menghafal, berdiri di muka kelas. Bagi mereka yang tidak hafal mereka disuruh berdiri di sudut kelas sampai pelajaran usai. Pembelajaran seperti ini di samping tidak menyenangkan, juga anak tidak mengetahui makna yang sebenarnya dari perkalian itu sendiri. Sekarang berbeda, meskipun penulis baru sekilas mengenal metode DUGEM (Dunia Gembira), namun dapat merasakan bedanya terutama dengan suasana kelas yang menjadi lebih menyenangkan dan matematika bukan lagi mata pelajaran yang menakutkan.

Berikut ini pengalaman penulis mengajar perkalian dengan menggunakan Stik Es Krim sebagai media pembelajaran. Alat ini sangat sederhana dan banyak ditemukan di sekitar anak. Apalagi anak-anak sekarang terserang demam Upin dan Ipin (tokoh film kartun produksi negara Malaysia). Upin dan Ipin inilah yang mempopulerkan permainan adu stik es krim. Keadaan ini penulis manfaatkan sebagai media untuk belajar matematika.

Langkah pembelajaran sebagai berikut: Anak diminta membawa 10 sampai 20 Stik Es Krim, kemudian membawanya ke sekolah. Kegiatan ini boleh dilakukan berpasangan, berkelompok atau individu. Sebelum kita memulai pelajaran, anak disuruh mengamati benda yang ada di sekitar, misalnya kursi dan meja. Tanyakan berapa kaki meja atau kursi, anak akan menghitung dan menjawab 4 (empat); kemudian ditanya kalau dua atau tiga kursi berapa jumlah kakinya?. Kita bisa pindah ke obyek yang lain, misalnya kaki anak ada berapa?, bila 4 anak atau 5 anak berapa jumlah kakinya, dan seterusnya. Kegiatan ini membantu anak memahami konsep dasar perkalian sebagai penjumlahan berulang.

Berikut anak disuruh mengeluarkan Stik Es Krim yang sudah mereka bawa, kemudian anak diminta menyusun Stik Es Krim tiga-tiga ke bawah sebanyak empat susun. Tanyakan ada berapa susun atau berapa kali tiganya, kemudian berapa jumlahnya. Lakukan ini berulang-ulang dengan jumlah yang berbeda, misalnya dua-dua ke bawah sebanyak lima atau enam susun, kemudian ditanya jumlahnya dan seterusnya. Setelah mereka berulang-ulang mencoba dan dapat memahami konsep dasar perkalian, anak diminta menulis perkalian sesuai dengan yang mereka inginkan sebanyak sepuluh buah. Dengan cara seperti ini anak menemukan sendiri konsep dasar perkalian, dan yang lebih penting dari itu pelajaran matematika menjadi bermakna dan menyenangkan. Ini modal dasar bagi seorang guru. (Penulis : Edi Mulyono, S. Pd SD Guru Kelas IV SD 3 Megawon)

Mengatasi Rasa Takut Pada Matematika



Rasa takut terhadap pelajaran matematika sering kali menghinggapi perasaan para siswa di sekolah mulai dari tingkat SD sampai dengan SMA. Padahal, matematika itu bukan pelajaran yang sulit, bahkan cenderung mengasyikkan. Hal ini dituturkan oleh Ibu Sri Tani Guru Kelas V SD 3 Megawon di sela-sela acara istirahat jam pertama di Ruang Guru. Beliau menegaskan bahwa setiap orang bisa bermatematika. Masalah fobia matematika kerap dianggap sangat krusial jika dibandingkan bidang studi lainnya karena sejak SD bahkan TK, siswa sudah diajarkan matematika.

Menurut Ibu Sri Tani, penyebab fobia matematika di antaranya mencakup penekanan belebihan pada penghafalan semata, penekanan pada kecepatan atau berhitung, pengajaran otoriter, kurangnya variasi dalam proses belajar-mengajar matematika, dan penekanan berlebihan pada prestasi individu. Karena itu, untuk mengatasi fobia matematika, peranan guru sangat penting. Parahnya, guru-guru matematika yang ada di Indonesia dinilai tidak peka dengan permasalahn fobia matematika di kalangan siswa. "Bagaimana mereka (guru-guru) peka jika banyak di antara mereka, yang jelas-jelas mengajar matematika, tetapi tidak memiliki background pendidikan di bidang matematika," katanya. Selain itu, guru-guru tersebut juga tidak mengetahui bahwa proses terpenting dalam bermatematika adalah nalar bukan kemampuan berhitung.

"Ini yang salah, guru-guru selalu menganggap bahwa orang yang tidak bisa berhitung, tidak bisa matematika. Padahal, semua orang bisa matematika. Jadi salah jika orang yang berbakat dalam matematika adalah orang yang terampil berhitung," katanya. Karena begitu pentingnya peranan guru dalam mengatasi fobia matematika, maka pengajaran matematika pun harus dirubah. Jika sebelumnya, pengajaran matematika berfokus pada hitungan aritmatika belaka maka saat ini, kata Ibu Sri Tani, guru-guru harus meningkatkan kemampuan siswa dalam bernalar. Selain itu, pengajaran matematika juga harus berfokus kepada anak. Dijelaskan Ibu Sri Tani, hal ini dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan alat peraga konkret sederhana untuk mengenalkan gagasan matematika dan menghubungkan gagasan tersebut dengan kehidupan sehari-hari.

Ditegaskannya, bahwa matematika bukan hanya sekadar aktivitas penjumlahan, pengurangan, pembagian, dan perkalian karena bermatematika di zaman sekarang harus aplikatif dengan kebutuhan hidup modern. Karena itu, secara content, matematika bukan lagi sekadar arithmetic tetapi beragam jenis topik dan persoalan yang lekat dengan kehidupan sehari-hari. Dari aspek psikologi, menurut Ibu Sri Lestari Kepala SD 3 Megawon, peranan orang tua pun sangat dibutuhkan untuk mengatasi fobia matematika itu.

Menurutnya, mengajar matematika bukan sekadar mengenal angka dan menghapalnya namun bagaimana anak memahami makna bermatematika. Konsekuensinya, kata Ibu Sri Lestari, orang tua harus memberi kesempatan anak untuk bereksplorasi, observasi dalam keadaan rileks. Para orang tua tidak perlu khawatir dengan kemampuan matematika para putra-putri mereka. Yang paling penting dalam menumbuhkan cinta anak pada matematika adalah terbiasanya anak menemukan konsep matematika melalui permainan dalam suasana santai di rumah dalam rangka mempersiapkan masa depan anak. "Jika anak sering menemukan orang tua menggunakan konsep matematika, anak akan menangkap informasi tersebut dan akan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Seperti, pengaturan uang saku dan tabungan hingga pengaturan jadwal kereta api atau penerbangan," katanya.

Pelaksanaan Try Out UASBN Tahap Ke 3


Pelaksanaan Try Out (Latihan) UASBN tahap ke-3 SD 3 Megawon tahun Pelajaran 2009/2010 berjalan lancar. Alhamdulillah, meski masih terlihat agak sedikit tegang namun para siswa kelas VI mengaku merasa lega setelah melaksanakan Try Out tersebut. Pada pelaksanaan Try Out hari pertama bertindak sebagai Pengawas adalah Ibu Sri Mulyani, S. Pd dan Bapak Edi Mulyono, S. Pd yang mengawasi mata pelajaran Bahasa Indonesia pada jam pertama. Sedangkan pada jam kedua yakni pada mata pelajaran IPA yang betugas sebagai pengawas adalah Bapak Abdullah Faqih, S. Ag dan Ibu Tukiyatun.




Senin, 22 Maret 2010

Ketika Dakon Menjadi Alat Peraga Matematika


Bapak Edi Mulyono (Guru Kelas IV SD 3 Megawon) yang pernah 5 tahun mengajar di Kabupaten Batang Jawa Tengah suatu saat bercerita berbagi pengalaman kepada guru-guru senior SD 3 Megawon. Ceritanya begini..!. Setiap kali digelar pelajaran Matematika, para siswa kelas II, III, dan IV SD Negeri Manggis, Desa Manggis, Kecamatan Bandar (sekarang masuk wilayah Kecamatan Tulis_red), Kabupaten Batang, Jawa Tengah, selalu siap di kelas. Bahkan mereka antusias. Mereka tak lagi takut dengan pelajaran Matematika terutama siswa kelas IV termasuk pada saat Pak Edi akan menyampaikan konsep pada kompetensi dasar menentukan faktor persekutuan terbesar (FPB) dan soal kelipatan persekutuan terkecil (KPK). Bagian konsep ini memang menuntut kemampuan seseorang dalam membayangkan sesuatu.

Oleh Pak Edi, pembelajaran itudibuat sedemikian rupa agar lebih menyenangkan. Akhirnya dibikinlah pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran DUGEM (dunia gembira) alias metode permainan. “Pokoknya, yang kalah harus menggendong yang menang ya!, kata Caswadi kepada Rima Sari. Setelah suit, kedua siswi Kelas IV SD Negeri Manggis itupun segera memainkan alat permainan tradisional yang disebut dakon itu. Alat itu terbuat dari tripleks sepanjang sekitar 100 sentimeter dan lebar 25 sentimeter. Di badan tripleks itu terdapat 75 lubang kecil yang terbagi menjadi tiga baris menjadi 25 lubang pada setiap baris. Di atas setiap lubang di barisan teratas dituliskan angka 1- 25.

Adapun di bawah baris terakhir terdapat tiga lubang besar untuk wadah biji dakon yang biasanya dari biji pohon asem, sawo, dan batu kerikil atau kapur. Lubang-lubang itu terbuat dari bekas wadah agar-agar atau jeli, jajanan/penganan anak-anak. Kami menyebut alat peraga itu sebagai dakon FPB dan KPK lantaran alat itu bisa digunakan untuk menghitung bilangan-bilangan itu tanpa membuat deret dan pohon faktor, kata Pak guru. Ia mengatakan, alat peraga itu dibuat oleh Bapak Suroto, salah seorang pengajar senior di SD Manggis (sekarang beliau menjabat sebagai Kepala Desa Siberuk Kecamatan Tulis Kabupaten Batang).

Alat itu bisa dibuat sesuai kebutuhan bilangan yang mau dihitung dengan cara menambah lubang, baik yang memanjang maupun yang membujur. Cara memainkannya adalah dengan meletakkan biji-biji dakon satu per satu di lubang dakon sesuai dengan kelipatan atau perkalian faktor. Syaratnya, siswa harus hafal kelipatan dan perkalian yang sudah diajarkan di kelas IV. Misalnya, untuk menentukan KPK 2 dan 3, siswa harus meletakkan biji dakon sejumlah kelipatan 2 di lubang-lubang baris pertama sesuai nomor lubang dakon dan kelipatan dua, yaitu 2, 4, 6, 8, dan seterusnya.

Saat menjabarkan kelipatan 3, siswa menaruh biji dakon di lubang-lubang baris kedua sesuai nomor lubang dakon dan kelipatan 3, yaitu 3, 6, 9, 12, dan seterusnya. Dari baris lubang pertama dan kedua, siswa bisa menentukan KPK dengan melihat biji dakon yang letaknya satu kolom atau berada pada nomor lubang dakon yang sama’ katanya. Para siswa mengaku terbantu dalam memahami pelajaran itu. Namun, alat itu masih terbatas lantaran tidak bisa untuk menghitung FPB dan KPK lebih dari 50. Kalaupun bisa, dakon harus dibuat panjang dengan 50 lubang. Tangan kami jadi tak sampai nanti, kata Caswadi sambil tersenyum. Apa pun kekurangannya, setidaknya Bapak Suroto telah membuat inovasi demi kemajuan anak didik. (Ladang Ilmu)



Masih Banyak Guru yang Menggunakan Metode Ceramah


Masih banyak guru yang menggunakan metode pembelajaran satu arah atau metode ceramah hingga berakibat pada kurangnya daya kreatif peserta didik. Menurut Bapak Noor Yahya (Guru Kelas VI SD 3 Megawon) mengatakan, pendidikan bermutu menuntut tersedianya guru yang mampu menggunakan berbagai macam metode pembelajaran yang tepat dalam mengelola proses pembelajaran di kelas. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan masih banyak guru yang hanya mengandalkan metode ceramah dalam menyampaikan materi pelajaran kepada siswa, hasilnya siswa menjadi pasif, tidak kreatif dan cepat merasa jenuh.
"Tanpa persiapan yang matang, guru berdiri di depan kelas hanya sekadar untuk melaksanakan tugasnya saja. Sedangkan murid menerima pelajaran tanpa memberi respon, akibatnya pembelajaran berlangsung hanya satu arah," katanya disela-sela acara istirahat pertama setelah pelajaran jam pertama dan kedua selesai.. Lebih lanjut Pak Yahya mengatakan, sudah menjadi kewajiban bagi setiap guru untuk merubah pembelajaran satu arah itu dengan terus belajar, melahirkan ide-ide kreatif dan inovatif sehingga menjadi guru yang profesional. Dalam kesempatan itu, ia juga menyampaikan dukungan kepada Universitas Terbuka yang telah membantu pemerintah Indonesia, khususnya dalam melatih tenaga pendidik menjadi guru yang profesional sekaligus guru yang mampu menjadi pelatih bagi siswanya.

Alat Peraga Matematika : Garis Bilangan Bulat


Alat peraga matematika “Garis Bilangan Bulat” sangat bermanfaat untuk mengajarkan materi operasi perhitungan, seperti penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat.



Bahan-bahan yang dibutuhkan :
  1. Kayu/papan
  2. Bambu
  3. Kertas Karton/Manila Berwarna
  4. Busa/Styrofoam
  5. Lem/perekat
  6. Spidol
Cara pembuatan :
  1. Kayu dipotong memanjang
  2. Buat potongan karton seukuran permukaan kayu, kemudian buat tulisan bilangan bulat diatasnya (misalnya -10 sampai dengan 10)
  3. Tempelkan tulisan bilangan bulat pada kayu menggunakan lem/perekat
  4. Siapkan dua potongan bambu, yang digunakan sebagai dudukan kayu bertuliskan bilangan bulat
  5. Hiasi bambu dengan menggunakan kertas warna, beri tulisan pada batang bambu pertama “Negatif” dan bambu kedua “Positif”
  6. Bentuk busa/styrofoam menjadi bentuk mobil atau orang-orangan lalu tempelkan pula tanda panah dari kertas ke badan mobil atau orang-orangan
Prinsip-prinsip kerja penggunaan garis bilangan diuraikan sebagai berikut:
  1. Setiap akan melakukan peragaan, posisi awal aktivitas peragaan harus selalu dimulai dari bilangan atau skala 0 (nol).
  2. Jika bilangan pertama dalam suatu operasi hitung bertanda positif, maka ujung anak panah diarahkan ke bilangan positif dan bergerak maju dengan skala yang besarnya sama dengan bilangan pertama sedangkan pangkal anak panahnya mengarah pada bilangan negatifnya. Sebaliknya jika bilangan pertamanya bertanda negatif, maka ujung anak panahnya diarahkan ke bilangan negatif dan gerakkan dengan skala yang besarnya sama dengan bilangan pertama sedangkan pangkal anak panahnya mengarah ke bilangan positif.
  3. Jika anak panah dilangkahkan maju, maka dalam prinsip operasi hitung istilah maju dapat diartikan sebagai penjumlahan. Sebaliknya, jika anak panah dilangkahkan mundur maka istilah mundur dapat diartikan sebagai pengurangan. Namun demikian, gerakan maju atau mundurnya anak panah tergantung pada bilangan penambah atau pengurangnya.


Adapted from http://apakabarpsbg.wordpress.com/

Minggu, 21 Maret 2010

Pembelajaran Seni Tari







Media visual berikut adalah salah satu contoh pembelajaran seni tari. Jenis tari yang ditampilkan adalah tari Bondan, tari perang, tari Rebana dan tari Golek Payung. Tari Bondan diperagakan oleh dua siswi SD 3 Megawon, Friska Meilani dan Irma Agustina, tari perang diperagakan oleh Bowo dan Agus. Sedangkan tari Rebana diperagakan oleh 6 siswi kelas 4 dan kelas 5.

Sabtu, 20 Maret 2010

Bagaimana Cara Mengajar Matematika yang Efektif?



Bagaimana sih cara mengajar matematika itu? Bila pertanyaan ini diajukan ke guru matematika, tentunya akan dapat jawaban berdasarkan pengalamannya. Bila pertanyaan ini diajukan pada guru, yang bukan guru matematika terutama guru kelas, kemungkinan besar masih dapat jawaban juga berdasarkan pengalamannya mengajar bidang lain (ia akan mereka-reka, menganalogikan cara mengajarnya pada cara mengajar matematika). Namun, bila pertanyaan ini diajukan ke sembarang orang yang bukan guru, apa jawabannya? Tentunya mereka juga bisa menjawab berdasarkan pengalamannya ketika menjadi siswa di sekolah. Pertanyaan ini hampir mustahil bisa dijawab oleh orang yang sama sekali tak pernah sekolah atau mengenyam pendidikan, mereka ini hampir dipastikan tak kenal dengan “makhluk” yang namanya matematika.

Baiklah, bila pertanyaan itu diajukan ke saya. Apa jawaban saya? Sebentar, sebelum saya jawab, saya akan menjawab pertanyaan ini dengan memposisikan diri sebagai: (1) siswa yang pernah belajar matematika, ini bagian yang akan paling sering saya gunakan untuk menjawab karena saya pernah belajar matematika sejak SD; dan (2) guru, yang pernah belajar mengajar matematika. Jawaban saya itu begini. Hingga saat ini, kata beberapa literature dan para ahli, tak ada cara terampuh yang dapat digunakan untuk mengajar matematika secara efektif. Cara apapun yang digunakan ada kelebihan dan ada kelemahannya. Yang saya maksud “cara mengajar” di sini bisa meliputi metoda/teknik mengajar atau pun pendekatan mengajar (lebih tepatnnya pembelajaran).

Apa itu saja jawaban saya terhadap pertanyaan tersebut? Yang saya pahami, orang bertanya tentang cara mengajar itu, artinya bagaimana sih sebenarnya agar tujuan pembelajaran matematika itu tercapai? Tujuan pembelajaran matematika yang saya maksud, ada dua hal. Tujuan jangka pendek, disebut juga tujuan materil dan tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek pembelajaran matematika, sederhananya, adalah bahwa, siswa diaharapkan dapat memahami materi matematika yang dipelajarinya dan dapat menggunakannya pada pelajaran lain atau pada kehidupan (praktis) nyata dan bekal untuk jenjang pendidikan selanjutnya.

Sedangkan tujuan jangka panjang pembelajaran matematika, sederhananya, adalah bahwa siswa itu dapat mengambil “nilai-nilai matematika” dan mengaplikasikannya untuk kehidupan. Nilai-nilai matematika yang saya maksud meliputi: penalaran, kedisiplinan, ketaatan, kejujuran, kebertanggungjawaban, kesetiakawanan, keimananan, dsb. Setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar tujuan pembelajaran matematika itu dapat tercapai. Pertama: Gurunya itu sendiri bagaimana? Apakah sang guru/pengajar, yang akan mengajarkan matematika itu, kompeten, layak, sesuai keahliannya? Seorang guru/pengajar matematika dikatakan kompeten bukan hanya teruji dari kemampuannya saja dalam menguasai materi. Tapi juga apakah ia mampu menyampaikan materi itu pada orang lain, siswa? Syarat minimal seseorang (guru, pengajar) bisa menyampaikan materi yaitu, bisa bicara di depan siswa untuk menyampaikan apa yang dipahaminya. Banyak yang mengerti dan paham tentang matematika, namun sukar untuk bisa menyampaikannya ke orang lain. Hal ini pernah saya saksikan sendiri ketika jadi siswa. Tapi, saya percaya, pada guru yang mampu menyampaikan materi matematika dengan baik, pemahamannya saya fikir baik juga. Dengan demikian, penguasaan materi dan kemampuan menyampaikannya (ke orang lain) adalah syarat perlu untuk mampu mencapai tujuan pembelajaran matematika, tapi ingat ini belum cukup. Belum cukup menjamin bahwa tujuan pembelajaran matematika itu akan tercapai.

Seorang guru/pengajar yang pemahaman materinya dan penyampainnya bagus pun masih perlu belajar, memperkaya diri dengan banyak membaca, tak berpuas diri dengan kemampuan yang sudah dimiliki, dan tentunya perlu melakukan persiapan sebelum pembelajaran. Sehebat apapun seorang guru, bila mengajarnya tidak dipersiapkan, saya pesimis tujuan pembelajaran itu akan tercapai. Bagaimana dengan yang sudah berpengalaman? Ya, tanpa kecuali. Kedua: Siswanya itu bagaimana? Yang perlu diperhatikan oleh seorang guru/pengajar, yang akan mengajar matematika, adalah bahwa: siswa yang belajar matematika itu kemampuannya beragam. Ada yang cepat menangkap pelajaran, ada yang biasa saja, dan ada yang kurang cepat. Mereka semua, pastinya ingin bisa matematika yang mereka pelajari.

Oleh karena itu, kita, selaku guru yang mengajar, tak boleh menganggap kemampuan mereka sama dengan kemampuan kita. Maksudnya, jangan menganggap pemahaman mereka, pada saat kita mengajar mereka, sama dengan pemahaman kita yang sudah belajar sebelumnya. Kebanyakan dari mereka (siswa) perlu waktu yang relatif lebih lama dibanding kita yang sudah belajar, yang sudah mengenal materi sebelumnya, yang sudah pengalaman sebelumnya, yang sudah mahir sebelumnya, dan yang sudah pandai sebelumnya.
Jadinya, bila menerangkan, jangan terlalu cepat pun jangan terlalu lamban. Ini juga bukan berarti menganggap remeh kemampuan siswa. Seringkali yang terjadi, guru menerangkan dengan tempo yang sangat cepat, sesuai kecepatannya dalam memahami materi, kurang memperhatikan apakah siswanya dapat mengikutinya atau tidak. Guru menerangkan seenaknya saja. Tindakan seperti ini, kemungkinan besar hanya bisa diikuti oleh sebagian kecil siswa saja, hanya yang pandai saja. Sedangkan sebagian besar siswa lain (saya perkirakan sekitar 90 %), akan merasa terseret-seret, tak sanggup mengejar kecepatan guru dalam menerangkan. Mungkin penjelasan ini sulit dipahami oleh mereka (guru/pengajar atau siapapun) yang (sangat) pandai matematika, yang belum pernah merasa kesulitan dalam belajar matematika. Bagi orang-orang semacam ini, mereka selalu menganggap bahwa pemahaman siswa yang diajarnya sama dengan dirinya yang sudah pandai itu.

Biasanya, bila mereka berhadapan dengan siswa yang kurang cepat dalam belajar, akan menganggap “bodoh” ke siswanya. Ungkapan-ungkapan semacam mengumpat dan mencela ke siswanya, seringkali sulit terhindari. Misalkan ada siswa SMP yang tak bisa menentukan KPK dan FPB dari dua bilangan yang berbeda. Guru yang termasuk golongan ini, kemungkiann besar akan berkata “Masa sih gitu saja tidak bisa?” “Mengerjakan soal yang dasar begitu saja tidak bisa, kenapa kamu bisa lulus SD?”, “Capek deeeeeh“, dsb. Tapi, bagi saya, kata-kata semacam ini bukanlah kata-kata yang terbaik/terampuh? Dengan demikian, sederhanyanya begini saja dulu, lakukan saja cara mengajar yang selama ini sudah bisa Anda lakukan! Namun perhatikan dan pertimbangkan beberapa hal yang sudah dituliskan di atas, silakan kalau perlu lengkapi dengan hal-hal yang luput dari perhatian saya.

Silakan Anda pakai metode apapun, misalnya ceramah (toh ini yang paling banyak dipakai dan digemari guru-guru matematika di Indonesia, bahkan juga di dunia mungkin?), silakan juga metode-metode lama atau terbaru lainnya. Semua metode ataupun pendekatan pembelajaran, masing-masing punya keistimewaan. Metode atau pendekatan apapun yang Anda pakai, bila dioptimalkan, niscaya tujuan pembelajaran matematika yang diidam-idamkan itu, insya Allah, dapat dicapai. Pada kesempatan lain (di artikel lain mungkin), insya Allah saya akan tuliskan bagaimana cara mengajar matematika dengan menggunakan metode atau pendekatan tertentu. Yang sedang saya pelajari sekarang, insya Allah hingga satu setengah tahun kedepan, adalah tentang pendekatan RME (Realistic Matematics Education).
Wahai pembaca sekalian, menurut Anda bagaimana?

Contributed by Al Jupri - http://mathematicse.wordpress.com